Laman

Senin, 28 Maret 2011

ANALISIS DATA

Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu
Increasing Effort of Irrigated Rice Productivity Through of
Integrated Crop and Resources Approach
Joko Pramono, Seno Basuki dan Widarto

ABSTRACT
The Objective of this assessment was to test of Integrated Crop Management (ICM)on irrigated rice implementation model. The assesment was conducted in two locations, namely Kliwonan village, Sragen district and Sugihan village, Grobogan district. The research activity begin from the second planting season 2001, with the number of 11 farmers cooperator in Grobogan on second weet season (WS II) and 6 farmers on second weet season (WS II) and 8 farmers on dry season (DS) in Sragen with on Farm Adaptive Research approach. Result of the assesment showed that; (a) the implementation of ICM model with components technology (seed treatment, planting young rice seedling and single seedling per hill, application organic matter, application nitrogen fertilizer based on Leaf Color Chart reading, application of P dan K fertilizer base on soil analysis, employment of mechanical weeder/landak) on irrigated rice can increaseof rice yield. Average increasing of rice yield is 0 % or 0.68 t/ha (WS II), and 0,59 t/ha (DS) in Sragen and 5.3 % or 0.33 t/ha (WS II) in Grobogan if be compared with non ICM program. (b) implementation of ICM can be increased farm profit value around 25 % - 58 % Keywords: Integrated Crop Management, irrigated rice, productivity

PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun dilain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomali iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelan-daian produktivitas.
Sistem produksi padi saat ini juga sangat rentan terhadap penyimpangan ilkim (El-nino). Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kom-pleks dan juga tidak efisien (Kartaatmadja dan Fagi, 2000). Suartha, (2002), memprediksi bahwa negara kita akan mengalami krisis pangan khususnya beras di tahun 2003, apabila usaha-usaha kita dalam meningkatkan produksi pangan masih tetap seperti waktu-waktu sebelumnya. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat perlu diupayakan untuk mencari terobosan teknologi budidaya yang mampu memberikan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi usaha.
Optimasi produktivitas padi di lahan sawah meru-pakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan
dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar lokasi dan belum optimal. Rata-rata hasil 4,7 t/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 6 – 7 t/ha. Belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh; a) rendahnya efisiensi pemupukan; b) belum efektifnya pengendalian hama penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang dipilih kurang adaptif; d) kahat hara K dan unsur mikro; e) sifat fisik tanah tidak optimal; f) pengendalian gulma kurang optimal (Makarim et al. 2000),.
Jawa Tengah yang merupakan salah satu propinsi yang memasok kebutuhan beras nasional, juga dihadapkan pada permasalahan yang sama. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir produktivitas padi sawah di Jawa Tengah juga mengalami fluktuasi dari 5,166 t/ha (1995); 5,020 t/ha (1996); 5,214 t/ha (1997); 5,014t/ha (1998) dan 4,997 t/ha (1999). Fluktuasi produksi beras yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor tersebut diatas. Program peningkatan produksi padi di Jawa Tengah perlu dititik beratkan pada upayapeningkatan pelaksanaan mutu intensifikasi, mengingat pelaksanaan program ekstensifikasi kurang memungkinkan untuk dilakukan.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih dikenal PTT pada padi sawah merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usahatani padi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikanefek sinergis. PTT mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementeruntuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarianlingkungan (Sumarno, dkk. 2000).
Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa tindakan PTT merupakan good agronomic practices yang antara lain meliputi; (a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimadan musim tanam, (b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah, air, hara dan tanaman secara optimal, (d) pengendalian hama-penyakit secara terpadu, dan (e) penanganan panen dan pasca panen secara tepat.
Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat diterapkan sesui kondisi agroekosistem, antara lain adalah; (a)perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam lebih rapat; (d) sistem pengairan; (e) penggunaan bahan organik; (f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah dalampemupukan; (g) pengendalian gulma dengan gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp, 1,6 juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan, 2000). Pengalaman serupa juga telah dilakukan di Madagaskar, dengan pelaksanaan sistem intensifikasi padi (SRI) melalui penerapan komponen-komponen teknologi secara terpadu (penanaman bibit muda 8-15 hari, pengaturanjarak tanam, penanaman tanaman/lubang, pengairan intermitent, pengendalian gulma sistem rotari) telah mampu meningkatkan hasil padi antara 7 – 2 ton/ha diatas rata-rata produksi nasional 2 ton/ha (Stoop et al. 2000 : Fisher, 1998).
Dengan pendekatan pengelolaan usahatani padi secara terpadu, mulai pengelolaan budidaya (persiapan lahan, pesemaian, penanaman, pemupukan, pengaturan air, pengendalian gulma), dan pengelolaan hama penyakit diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani padi yang selanjutnya memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

BAHAN DAN METODE
Pengkajian untuk menerapkan model pendekatan PTT pada hamparan usahatani padi sawah, telah dilakukan di dua wilayah sentra produksi beras di Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Sragen pada musim tanam (MT) tahun 200 . Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan On Farm Adaptive Research, mulai musim kemarau (MH) II (Pebruari – Juni). Jumlah petani kooperator untuk Kab. Grobogan sejumlah 11orang dan untuk Kab. Sragen 6 orang pada MH II dan 8 orang pada MK I yang bertindak sebagai pelaksana aktif didalam melaksanakan program pengkajian PTT. Beberapa komponen teknologi yang diimplementasikan pada unit hamparan pengkajian (UHP) seluas 5 ha meliputi; (a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) tanam tunggal bibit muda (15 hari setelah tebar), (d) penggunaan bahan organik (kompos), (e) pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun, (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (g) pengairan berselang (intermitten irigation), (h) pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian hama secara PHT. Sedangkan lahan petani sekitar yang menerapkan intensifikasi padi yang biasa dilakukan petani setempat dianngap sebagai kontrol atau luar unit hamparan peng-kajian (LUHP).
Rangkaian pelaksanaan pengkajian terdiri atas berbagai tahapan, yaitu: a). koordinasi dengan dinas, dan pemerintah desa untuk menentukan lokasi, b) pelaksanaan survei PRA, c) apresiasi program pengkajian, d) pelaksanaan kegiatan di lapangan, e) pengamatan dan pengumpulan data, f) pertemuan lapang/mini field day, dan g) pelaporan. Data-data teknis agronomis yang dikumpulkan meliputi keragaan; a) tinggi tanaman, b) jumlah butir isi/malai, c) jumlah butir hampa/malai, d) jumlah malai/M2, e) berat 1000 biji, f) hasil ubinan 10 x 10 m, dan g) kadar air biji saat panen.Sedangkan data ekonomis input dan output usahatani. Komponen teknologi yang diterapkan pada masing-masing lokasi secara spesifik ditampilkan pada Tabel 1.

Data-data teknis agronomis dianalisis dengan uji T, sedangkan data usahatani dianalisis dengan meng-gunakan analisa Rice Gross Margin (Fairhurst,2002).Analisis Jurnal Pengembangan Produk
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keragaan Agronomis
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa melalui pendekatan model PTT ternyata masih mampu meningkatkan produktivitas hasil panen gabah kering giling (GKG) di kedua lokasi pengkajian yang telah menerapkan usahatani padi sawah secara intensif. Tingkat produktivitas pada UHP dengan model PTT rata-rata lebih tinggi dibandingkan pola petani (LUHP). Peningkatan hasil rata-rata mencapai 10 %, atau sekitar 0,68 ton/ha GKG pada MH II, untuk di Kab. Sragen, sedangkan untuk di Kab. Grobogan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5,3 % atau sebesar 0,33 ton/ha GKG (Tabel 2). Pada tabel 3, untuk pertanaman MK I di Kab. Sragen peningkatan hasil masih konsisten terjadi walaupun peningkatannya lebih rendah dari pada MH II, yaitu hanya sebesar rata-rata 0,59 t/ha
Peningkatan hasil tersebut tentunya didukung oleh peningkatan beberapa komponen hasil pada model PTT, seperti jumlah malai per meter persegi dan peningkatan persentase butir isi, dimana pada pendekatan PTT dapat mencapai 73
%, lebih tinggi dibandingkan pola petani yang hanya mencapai 61 % untuk di Kab. Grobogan, sedangkan peningkatan persentase bagah isi tersebut juga terjadi di lokasi pengkajian Kab. Sragen yang mencapai 93,76 % lebih tinggi dibandingkan pola petani yang hanya mencapai 91,68 %.
Peningkatan hasil pada MH II yang nyata dan pada MK I yang tidak nyata, yaitu pada kisaran 0,3 – 0,68 t/ha, cukup berarti apabila dilihat dari aspek pendapatan usahatani, karena dengan pendekatan model PTT disamping meningkatkan produktivitas juga masih mampu meningkatkan efisiensi usahatani, terutama melalui penurunan penggunaan biaya agroinput berupa benih dan penggunaan pupuk kimia sebagai akibat dari diterapkannya komponen-komponen teknologi budidaya sinergis, seperti tanam tunggal bibit muda, pemupukan N berdasarkan panduan Bagan Warna Daun dan pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah yang dilakukan sebelum pelaksanaan pengkajian. Penurunan biaya pupuk kimia pada PTT rata-rata dapat mencapai nilai antara Rp. 129.000,- Rp. 419.000,- per/ musim di Kab. Sragen dan Rp. 376.00,di Kab. Grobogan. Produktivitas pada MK I di Sragen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada MH lebih disebabkan faktor kondisi agroklimat yang lebih baik, seperti intensitas sinar matahari yang lebih tinggi pada MK, yang dapat berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis. Terdapat kecenderungan petani lahan sawah irigasi di sentra produksi beras untuk selalu menambah takaran pupuk, terutama Nitrogen guna mengatasi per-masalahan pelandaian produksi, seperti halnya terjadi di Kab. Sragen, penggunaan urea dapat mencapai 500 kg/ha/musim tanam. Hal ini dapat dipandang sebagai tindakan inefisiensi pemupukan, dan dengan penerapan model PTT dimana aplikasi urea didasarkan pada kepekaan warna daun dengan panduan BWD ternyata hanya dengan takaran 265 kg/ha yang dikombinasikan dengan penerapan komponen teknologi sinergis yang lain justru mampu meningkatkan hasil gabah. Pemupu-kan urea dengan panduan BWD mampu meningkatkan efisiensi pemupukan urea mencapai 40 % (Pramono, et al. 2001)
Tingkat produktivitas yang dicapai kedua lokasi pengkajian baik pada UHP maupun LUHP berbeda, dan menunjukkan bahwa untuk Kab. Sragen rata-rata produktivitas usahataninya lebih tinggi dibandingkan tersebut cukup tinggi di Kab. Grobogan (Tabel 4). Perbedaan intensitas serangan berbagai penyakit dikedua lokasi lebih disebabkan karena tingkat pengelolaan, sedangkan intensitas serangan pada masing-masing di Kab. Grobogan. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan faktor kondisi biofisik lahan dan tingkat pengelolaan usahatani. Salah satu yang me-nonjol bahwa untuk petani di Kab. Sragen telah terbiasa menggunakan score untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur seperti Cercosprora (CLS) dan busuk pelepah daun (Sh R) yang intensitasnya pada MH relatif tinggi, sedangkan untuk petani di Kab. Grobogan tindakan pengendalian tersebut tidak dilakukan, sehingga intensitas serangan penyakit Di Kab. Sragen antara model PTT dan pola petani sama dalam hal penggunaan jarak tanam dan upaya pengendalian terhadap penyakit, yaitu berupa aplikasi fungisida Score, sebanyak 2 kali/musim tanam pada fase fegetatif dan saat pengisian bulir. Sedangkan untuk di Kab. Grobogan perbedaan jarak tanam yang lebih rapat pada pola petani, diduga berpengaruh terhadap populasi lokasi pengkajian antara model PTT dengan pola petani relatif tidak menunjukkan perbedaan, sehingga pendekatan model PTT belum banyak berpengaruh terhadap penurunan intensitas serangan penyakit pada tanaman padi. Hal ini disebabkan karena komponen teknologi yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dengan intensitas serangan penyakit antara kedua pola tersebut relatif sama.tanaman dan kelembaban mikroklimat, yang dapat ber-pengaruh terhadap perkembangan penyakit yang dise-babkan oleh jamur. Pada Tabel 4, terlihat bahwa rata-rataintensitas serangan penyakit cercospora, busuk pelepahdaun dan busuk batang pada pola petani cenderung lebihtinggi dibandingkan pada model PTT.
B. Keragaan Ekonomis
Hasil analisis finansial usahatani antara model PTT dengan pola petani dimasing-masing lokasi peng-kajian disajikan pada Tabel 5. Dari tabel tersebut secara konsisten biaya produksi per kg gabah pada pola PTT lebih rendah dari pada pola petani. Pada MH II biaya produksi di Grobogan lebih rendah sebesar 5,2 % dan 8,1% di Sragen, sedangkan pada MK I di Sragen juga masih lebih rendah, yaitu 5,23 %. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah dengan pola PTT lebih efisien dibandingkan pola petani (Existing farm).Nilai margin untuk setiap kg hasil pada pola PTT untuk semua lokasi dan musim tanam konsisten lebih tinggi dibandingkan pola petani. Pada Tabel 5 nampak pada MH II di Grobogan nilai margin lebih tinggi sebesar 55 %, sedangkan di Sragen sebesar 58 %. Selanjutnya pada MK di Sragen juga nampak masih lebih tinggi sebesar 25 %. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa pola PTT disamping masih mampu meningkatkan hasil padi persatuan luas juga mampu meningkatkan tingkat keuntungan usahatani.

KESIMPULAN
1. Pendekatan model PTT pada padi sawah dengan menerapkan komponen-komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil panen GKG yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan pola petani. Peningkatan hasil mencapai 0 % atau sekitar 0,68 t/ha GKG pada MK I dan 0,59 t/ha GKG pada MK II di Kab. Sragen, sedangkan untuk Kab. Grobogan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5,3 % atau 0,33 t/ha GKG pada MK I.
2. Pendekatan model PTT disamping meningkatkan hasil gabah, juga mampu meningkatkan tingkat keuntungan usahatani berkisar antara 25 – 58 %.

DAFTAR PUSTAKA
Fisher, K. 1998. IRRI’s Assessment of the System Of Rice Intensification (SRI) in Madagaskar. Paper. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippine.

Fairhurst, T. 2002. Rice Gross Margin Analysis. Bahan Pelatihan Pengelolaan Tanaman dan Sumber-daya Terpadu Padi Sawah. Sukamandi.

Kartaatmadja, S. dan A. Fagi. 2000. Pengelolaan Tanaman Terpadu: Konsep dan Penerapan. Dalam.

Makarim et al. (Eds). Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Stategi Peningkatan Produksi Pangan. Sim-posium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor 22-24 November 1999.

Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Pramono, J., S. Kartaatmadja, dan H. Supadmo. 2001. Efisiensi Pemanfaatan Sumberdaya pada Usa-hatani Padi Sawah di Kab. Sragen, Jawa Tengah. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Mataram, 30 – 31 Oktober 2001.

Puslitbangtan. 2000. Inovasi Teknologi Tanaman Pangan dalam Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengembangkan Agribisnis. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Stoop, W.A., N. Uphoff and A. Kasam. The system of rice intensification (SRI) from Madagaskar: Re-flection on possible significance for agriculture research strategies. Paper. Un publised.

Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. Konsep usahatani ramah lingkungan. Dalam.
Makarim et al. (Eds). Prosiding Simposium Pene-litian Tanaman Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategis Peningkatan Paroduksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekoteknologi untuk keberlanjutan usaha pertanian. Risalah Simposium Ketahanan Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Suartha, I.G.D. 2002. Padi Hibrida Solusi Tepat dalam Menjawab Krisis Pangan Nasional. Majalah Pertanian ABDI TANI. Vol.3/No.1. Edisi X.


Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu

Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun dilain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomal iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique) penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelandaian produktivitas.
Dari uraian di atas maka perlu adanya upaya untuk mempertahankan dan kalau bisa lebih menigkatkan produksi pangan atau beras sehingga kebutukan akan terpenuhi. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat perlu diupayakan untuk mencari terobosan teknologi budidaya yang mampu memberikan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi usaha.
Dalam jurnal yang saya peroleh disana menjelaskan tentang peningkatan produktivitas padi dengan menerapkan system pengolahan terpada, Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih dikenal PTT pada padi sawah, merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usahatani padi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis. PTT mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno, dkk. 2000). Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa tindakan PTT merupakan good agronomic practices yang antara lain meliputi; (a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat dan musim tanam, (b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah, air, hara dan tanaman secara optimal, (d) pengendalian hama-penyakit secara terpadu, dan (e) penanganan panen dan pasca panen secara tepat.
Dengan adanya metode pengolahan tanaman terpadu. Maka akan tercipta adanya peningkatan produksi namun pengeluaranya akan diminimalisir,karena dengan adanya pengolahan terpadu memang menerapkan sesuatu yang cukup dan tidak berlebihan,maksutnya disini adalah penerapannya tidak menghabiskan dana dan input yang besar terhadap tanah maupun tanaman, misalnya penerapan pemupukan harus tepat dosis dan tepat tempat, jadi pupuk tidak terbuang percuma,inti dari sistem Pengolahan Tanaman Terpadu adalah Efektif,Efisien Dan ramah lingkungan.
Dalam system pemasarannya di mungkinkan akan lebih mudah, alasannya adalah hasil dari yang diperoleh akan lebih berkualitas,karena dipandang dari system pemupukan dan juga pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tananan)akan lebih ramah lingkungan karena dalam system pengolahan tanaman terpadu menerapkan input atau pemasukan unsure ke tanaman atau ke tanah di minimalisir sedikit mungkin, maka dalam system pemasarannya dapat di promosikan tentang kelebihan yang dimiliki dalam hasil produk yang diperoleh dari system pengolahan tanaman terpadu.
Dari data yang diperoleh dalam jurnal mengatakan bahwa PTT merupakan sistem pengolahan yang paling efektif dan efisien di banding pengolahan-pengolahan yang lainnya, misalnya pada sistem pengolahan tanaman yang biasa dilakukan oleh petani pada umumnya,biasanya petani melakukan pengolahan yang berlebihan,misalnya dalam hal pemupukan biasanya petani terlalu berlebihan,karena dengan harapan agat tanamannya dapat menghasilkan produktifitas yang tinggi,namun hal itu salah semestinnya dalam kasus ini kita harus mengetahui kadar hara yang ada di dalam tanah, apakh tanah itu perlu dilakukan pemupukan atau tidak, biasanya dalam tanah sendiri sudah terdapat unsur hara yang memang dibutuhkan oleh tanaman. dan juga dengan cara pengendalian OPT yang semenstinya bisa dilakukan dengan cara yang efisien namun pada petani awam menggunakan cara yang berlebihan dan biasanya tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna,sehingga produksi tidak meningkat,namun malah menurun. pengolahan tanaman terpadu terbukti dapat meningkatkan hasil produksi padi karena penerapannya cukup efektif dan efisien serta ramah lingkungan