Laman

Sabtu, 13 November 2010

teknik pasacapanen pada buah dengan cara crisping

BAB 1 . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sayuran berdaun merupakan hal yang dibutuhkan oleh manusia, karena banyak mengandung vitamin dan berserat tinggi. Namun karena yang dibutuhkan dalam bentuk daun yang segar itu tidak mudah karena sayuran daun sepat mengalami kelayuan akibat adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata.
Tingginya kandungan air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu dalam keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air di udara rendah maka akan terjadi defisit tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan air dari dalam produk ke udara sekitarnya (Wills et al., 1998). Bila sebaliknya, tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tingg,i maka akan terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk (Hardenberg et al., 1986). Sangat memungkinkan untuk mendifusikan air ke dalam produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami, dimana proses penyegaran ini dikenal dengan crisping (PMA, 1988).
Salah satu penyebab terjadinya pelayuan adalah karena adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda dan lentisel yang tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%) dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk memungkinkan laju penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan dapat terjadi dengan cepat (Van Den Berg dan Lenz, 1973). Selain faktor internal produk, faktor eksternal seperti suhu, kelembaban serta kecepatan aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme membuka dan menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti stomata dipengaruhi oleh suhu dari produk. Pada kondisi dimana suhu produk relatif tinggi maka bukaan-buakaan alami cenderung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhunya relatif rendah maka buakaan alami mengalami penutupan (Kays, 1991).
1.2 Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan proses crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun di banding dengan tanpa proses tersebut
2. Mampu melaksanakan prosedur crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun.
3. Mampu melakukan analisis terjadinya proses crisping
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Produk pascapanen hortikultura berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuan yang cepat (Ness dan Powles, 1996; Salunkhe et al., 1974).
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).
Menurut Story & Simons (1989), secara umum suhu 450C adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu tersebut produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan.
Dengan karateristik morfologinya, bawang prei dan sawi cina yang telah meningkat suhunya sulit untuk didinginkan dengan cepat sehingga proses respirasi dan transpirasi masih berlangsung tinggi yang berakibat pada penurunan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang hanya dicelup pada suhu 300C. Suhu yang tinggi pada bagian tengah produk, sebagai akibat tidak dilakukan pendinginan yang cepat sebelum dilakukan penyimpanan dalam ruang berpendingin atau pre-cooling, menyebabkan laju respirasi dan transpirasi yang tinggi (Shewfelt, 1990).
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan oven (Cantwell, 2001). Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut:
Wa - Wb
KA (%) = —————— x 100%
Wa
Keterangan : KA = Kadar Air (% bb)
Wa = Berat sebelum oven
Wb = Berat akhir setelah oven
Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertama
sebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan (100C±20C).



BAB III. METODOLOGI


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum di laksanakan pada hari rabu tanggal 13 Oktober 2010 pukul 16.00 sampai selesai, pelaksanaan praktikum dilaksanakan di Laboratorium Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian,Universitas Jember.

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Jenis sayuran daun
2. Air dengan suhu 300C,400 C,500C
3. Tali rafia

3.2.2 Alat
1. Baskom
2. Thermometer
3. Timer
4. Ruang pendingin
5. pisau

3.3 Langkah Kerja
1. Menentukan dua jenis sayuran
2. Memotong atau memangkas bagian daun bahan yang rusak,layu fisiologis,dan busuk.
3. Menentukan jumlah sampel untuk seitap unit,percoabaan dan setiap unit dan menentukan setiap unit percobaan dengan tali rafia (bukan karet).
4. Menyiapkan air hangat dengan menggunakan waterbart dan suhu air diatur terpisah berturut-turut dengan suhu 300C,400 C,500C
5. Mencelupkan sayuran bahan percobaan dengan waktu berbeda yaitu 1,3,5 meit
6. Menyiapkan kontrol yaitu sayuran yang tanpa mencelup kedalam air hangat di atas.
7. Menempatkan sayuran yang telah di celupkan di atas secepatnya ke dalam kulkas pada bagian chiller dengan perkiraan suhu ± 50 C
8. Menyimpan sayuran bahan percobaan tersebut di dalam kulkas selama 24 jam
9. Setelah penyimpanan dalam kulkas di atas,selanjutnya mengamati mutu secara subjektif meliputi, warna,tekstur dan kenampakan visual secara keseluruhan dengan menggunakan kriteria dan skala numerik, pada tabel pada fariabel pengamantan. Melakukan pengamatan secara objektif terhadap bobot sayuran setelah dan sebelum crisping.


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Tabel pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran
Perlakuan Warna Tekstur Kualitas
Kontrol 4 3 3
300 C 1 menit 5 5 4
3 menit 4 4 3
5 menit 4 3 3
400 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 5
5 menit 4 3 4
500 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 4
5 menit 5 5 4











Tabel pengamatan bobot sayuran
Suhu Ba gram Bb gram
Kontrol 23,5
300 C 1 menit
2 menit
3 menit 47
14
27,1 50,2
15,7
31,7
40 0 C 1 menit
2 menit
3 menit 19,3
30,72
20,32 21,2
43
26,4
500 C 1 menit
2 menit
3 menit 20,07
18,4
40,09 23
21,7
49,3

Grafik pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran


Grafik pengamatan bobot sayuran















Grafik PB






4.2 Pembahasan
Dari grafik di atas dapat di ambil suatu gagasan bahwa pengaruh crisping sangatlah berpengaruh besar terhadap tingkat kelayuan produk hortikultura (sayuran). Hal ini tampak pada grafik di atas bahwa pengaruh suhu dan waktu perendaman dapat mempengaruhi besar kecilnya tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran. Dalam grafik di atas perlakuan yang terendah adalah perlakuan control, hal ini cukup wajar karena perlakuan control adalah perlakuan yang tanpa adanya penambahan suhu dan lama perendaman sehingga kondisinya adalah biasa disebut dengan kondisi stabil (biasa). Dari grafik di atas di dapat suatu data yang mennyatakan bahwa perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan menggunakan perlakuan 400C dengan lama perendaman selama satu menit dan dua menit. Dibanding dengan perlakuan 500C yang mendapatkan hasil yang sama.
Dari ketentuan di atas dapat di simpulkan suatu gagasan bahwa perlakuan yang benar dan efisien adalah perlakuan yang menggunakan perlakuan 400C. perlakuan ini adalah perlakuan yang sangat baik untuk kelanjutan proses crisping. Disamping itu perlakuan ini merupakan perlakuan yang sudah optimum, karena semakin tinggi perlakuan yang diberikan, maka akan mengakibatkan penurunan tingkat kelayuan dan bahkan dapat mempercepat tingkat kelayuan.
Pada proses crisping suatu hal yang berbeda yang dapat diketahui yang sangat terlihat adalah terjadinya perubahan fisik (perubahan yang nampak),yaitu tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran yang dilakukan proses crisping kemudian juga adanya perubahan warna sayuran yang tejadi,hal ini terlihat perbedaan yang terjadi pada data di atas bahwa pada beberapa perlakuan ada perbedaan antar perlakuan kontrol,300C,400C,dan 500C. Pada perlakuan warna daun yang tampak telihat adalah
Pada proses di atas terjadi adanya fenomena yang terjadi pada saat proses crisping,proses yang terjadi adalah terjadinya tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tinggi,maka terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk. Sehingga banyak kemungkinan apabila suhu pada di luar produk di tingkatkan maka akan mendifusi air ke dalam produk semaksimal mungkin yang bertujuan untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami. Denga demikian kita bisa menekan adanya proses pelayuan yang terjadi pada komoditi pertanian khususnya sayur-sayuran.
Pada praktikum kali ini di lakukan perlakuan yang di lakukan diantaranya adalah dengan perlakuan kontrol yaitu tanpa adanya perlakuan suhu waktu perendaman , kemudia ada perlakuan dilakukan perendaman dengan suhu dan waktu yang berbeda-beda yaitu dengan perlakuan 300C,400C,dan 500C dengan waktu yang berbeda yaitu 1, 3, dan 5 menit. Disini terjadi suatu perbedaan yany terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan menggunakan suhu yang berbeda-beda dan juga waktu yang berbeda pula maka terjadi perubahan. Untuk suhu sendiri pada suhu 300C dan pada waktu satu menit mendapatkan hasil yang cukup memuaskan yang terjadi adalah dengan hasil yang cukup tinggi dan masih dalam kategori sayuran yang segar, warna masih tampak hijau,hal ini terlihat sangat berbeda dari perlakuan kontrol,yang hanya mendapat poin dengan kategori warna hijau namun tekstur mengalami kemunduran dan pada tingkat kelayuan mengalami kelayuan yang dikategorikan agak layu,dan kualitasnya yaitu biasa saja tidak di kategorikan sebasgai kategori terbaik.
Namun pada perlakuan suhu 400C,dan 500C dengan waktu yang sama yaitu 1 menit mendapatkan hasil yang sama bagusnya. Hal ini mungkin di akibatkan oleh daya tahan tubuh sayuran antara perlakuan satu dengan yang lainnya mengalami perbedaan,sehingga hasil yang didapat bisa sama. Dari hal tersebut dapat diambil suatu gagasan yang mana pada perlakuan 400C merupakan perlakuan yang cukup efektif dari pada perlakuan lainnya, karena hal ini merupakan hal yang optimum dari semua perlakuan, itu terlihat dari hasil yang telah diperoleh pada suhu 400 C dengan waktu 1 menit merupakan perlakuan yang optimum, sebab apabila perlakuan di tingkatkan lagi ternyata masih tetap mendapatkan hasil yang sama. Pada perlakuan suhu 500C malah mendapatkan hasil yang yang menurun dibanding perlakuan lainnya. Ada sumber lain yang melakuan percobaan yang hampir sama yaitu sebagai berikut,
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Dari data dan pembahasan di atas dapat diketahui dan di ambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Penggunaan cara crisping terbukti bahwa dapat meminimalisir adanya tingkat pelayuan akibat tras=nspirasi tinggi. Karena sayuran yang telah di crisping kandungan airnya dapat meningkat kembali.
2. Untuk melakukan proses crisping penggunaan perlakuan yang efektif adalah menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien dan juga sudah terbukti dari sumber pustaka lain juga berpendapat sama,namun perbedaannya hanya waktu perendaman saja.
3. Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertamasebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan.

5.2Saran
Untuk melakuakan proses crisping lebih baik menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien hal interbukti nyatai sudah



DAFTAR PUSTAKA


Cantwell, M. & A. Thangaiah. 2001. Delays to cool affect visual quality, firmness and gloss of bell peppers and eggplants. Perishables Handling Quarterly, August 2001, Issue No. 107.

Hardenberg, R. E., A. E. Watada, & C.Y. Wang. 1986. The Commercial Storage of Fruits, Vegetables, Florist and Nursery Stocks. USDA Agric. Handbook No. 66. USDA Washington.

Kader, A.A. 2002. Postharvest Technology of Horticultural Crops. 3rd Edition. University of California. Div. of Agriculture and Natural Resources, California

Kays, S. J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An AVI Book, NY

Ness, A. R. and Powles, J. W. 1996. Does eating fruit and vegetables protect against heart attack and stroke? Chem. Industry (Oct): 792- 794.

PMA-Produce Marketing Association. 1988. Retail Produce Training Program. Silverweig Association, Inc & Produce Marketing Association, Inc. New York.

Story, A. & D. Simons. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable Association Ltd., Fitzroy, Vic.

Supartha ,2007.Pengaruh Suhu Air dan Lama Waktu Perendaman Beberapa Jenis Sayuran Daun pada Proses Crisping. Denpasar

Van Den Berg, L. & C.P. Lenz. 1973. High humidity storage of carrots, parsnips, rutabagas and cabbage. J. Am. Soc. Hort. Sci. 98: 129-132.

Wills, R.B.H., B. McGlasson, D. Graham, & D. Joyce. 1998. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th Ed, University of New South
TIPE STRUKTUR TANAH PLATY (LEMPENG)
Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun atas mineral dan bahan organik.Tanah sangat berperan dalam kehidupan makhluk hidup di bumi karena tanah membantu pertumbuhan tumbuhan dengan menyediakan hara,air dan unsur-unsur yang di perlukan tumbuhan untuk tumbuh sekaligus sebagai penopang akar Tanah juga menjadi habitat hidup bagi makhluk mikroorganisme.Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi tempat untuk hidup dan bergerak.Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi.Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.
Struktur tanah merupakan susunan ikat an partikel tanah satu sama lain. Ikatan tanah berbentuk sebagai agregat tanah. Apabila syarat agregat tanah terpenuhi maka dengan sendirinya tanpa sebab dari luar disebut ped, sedangkan ikatan yang merupakan gumpalan tanah yang sudah terbentuk akibat penggarapan tanah disebut clod. Untuk mendapatkan struktur tanah yang baik dan valid harus dengan melakukan kegiatan dilapangan, sedang laboratorium elatif sukar terutama dalam mempertahankan keasliannya dari bentuk agregatnya. Pengamatan dilapangan pada umumnya didasarkan atas type struktur, klas struktur dan derajat struktur. Ada macam-macam tipe tanah dan pembagian menjadi bermacam-macam klas pula. Di sini akan dibagi menjadi 7 type tanah yaitu : type lempeng ( platy ), type tiang, type gumpal ( blocky ), type remah ( crumb ), type granulair, type butir tunggal dan type pejal ( masif ). Dengan pembagian klas yaitu dengan fase sangat halus, halus, sedang, kasar dan sangat kasar. Untuk semua type tanah dengan ukuran klas berbeda-beda untuk masing-masing type. Berdasarkan tegas dan tidaknya agregat tanah dibedakan atas : tanah tidak beragregat dengan struktur pejal atau berbutir tunggal, tanah lemah ( weak ) yaitu tanah yang jika tersinggung mudah pecah menjadi pecahan-pecahan yang masih dapat terbagi lagi menjadi sangat lemah dan agak lemah tanah sedang/cukup yaitu tanah berbentuk agregat yang jelas yang masih dapat dipecahkan, tanah kuat ( strong ) yaitu tanah yang telah membentuk agregat yang tahan lama dan jika dipecah terasa ada tahanan serta dibedakan lagi atas sangat kuat dan cukupan (Baver, 1961 ).
Untuk tanah bertipe struktur lempeng sendiri merupakan salah satu dari tujuh tipe tanah yang dapat di ketahui.struktur lempeng adalahbentuk gumpalan tanah yang menyerupai lempengan-lempengan pipih atau keping yang dapat mempengaruhi porositas tanah, struktur ini ditemukan di horison A2 atau pada lapisan padas liat, Pada struktur platy, unit-unitnya datar dan seperti pelat. Struktur ini secara umum diorentasikan secara horizontal. Bentuk special, struktur platy lentikular, dikenal sebagai pelat yang tengahnya paling tebal dan tipis pada tepinya. Struktur platy biasanya ditemukan pada sub permukaan tanah yang subjeknya luluh atau memadat karena hewan atau mesin. Pelat ini dapat dipisahkan dengan sedikit gaya dengan mengumpil lapisan horizontal denan pisau silet. Struktur platy cenderung menghalangi gerakan air untuk turun ke bawah dan akar tanaman menembus tanah. struktur tanah ini berbentuk seperti buku,sehingga porositas tanah sangat kecil,karena air tidak dapat lolos dengan baik,disebabkan oleh buku-buku tanah,hal ini juga dipengaruhi oleh ketebalan yang ada pada tanah berbentuk lempeng,ketebalan struktur lempeng dapat dibedakan menurut ketebalannya diantaranya adalah :
1. Sangat tipis,jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 1 mm
2. Tipis, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 1-2 mm
3. Sedang, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 2-5 mm
4. Kasar, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 5-10 mm
5. Sangat kasar, jika ketebalannya lempengnya berkisar lebih dari 10 mm
Dari beberapa perbedaan ketebalan tanah di atas mempunyai peranan dan pengaruh terhadap porositas tanah yang kaitannya juga dapat mempengaruhi kesuburan dan kesuburan tanah sendiri akan mempengaruhi produktifitas tanaman yang akan di tanam.semakin tebal tanah yang bertipe platy ini maka akan semakin besar juga kemampuan tanah untuk menahan air yang akan turun ke bawah,sehingga dengan tipe tanah platy yang tebal maka porositas tanah akan sangat kecil,dan begitu juga sebaliknya. Dibawah ini adalah beberapa gambar tipe struktur tanah yang dapat diketahui.


Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa struktur tanah platy sangart berpengaruh terhadap kesuburan tanah,karena ada kaitannya juga dengan produktifitas tanah yang berpengaruh langsung terhadap produksi tanah,jadi apabila tipe struktur tanah lempeng ini kurang baik bagi lahan pertanian,karena tanahnya sulit untuk meloloskan air atau juga dapat dikatakan bahwa tingkat porositasnya sangat kecil,sehingga akar tanaman akan terhambat dan sulit untuk mencari unsure hara yang ada di dalam tanah.