Laman

Minggu, 26 Desember 2010

mempertahankan sayur dan buah agar tetap segar dengan cara crisping

BAB 1 . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sayuran berdaun merupakan hal yang dibutuhkan oleh manusia, karena banyak mengandung vitamin dan berserat tinggi. Namun karena yang dibutuhkan dalam bentuk daun yang segar itu tidak mudah karena sayuran daun sepat mengalami kelayuan akibat adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata.
Tingginya kandungan air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu dalam keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air di udara rendah maka akan terjadi defisit tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan air dari dalam produk ke udara sekitarnya (Wills et al., 1998). Bila sebaliknya, tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tingg,i maka akan terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk (Hardenberg et al., 1986). Sangat memungkinkan untuk mendifusikan air ke dalam produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami, dimana proses penyegaran ini dikenal dengan crisping (PMA, 1988).
Salah satu penyebab terjadinya pelayuan adalah karena adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda dan lentisel yang tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%) dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk memungkinkan laju penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan dapat terjadi dengan cepat (Van Den Berg dan Lenz, 1973). Selain faktor internal produk, faktor eksternal seperti suhu, kelembaban serta kecepatan aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme membuka dan menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti stomata dipengaruhi oleh suhu dari produk. Pada kondisi dimana suhu produk relatif tinggi maka bukaan-buakaan alami cenderung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhunya relatif rendah maka buakaan alami mengalami penutupan (Kays, 1991).
1.2 Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan proses crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun di banding dengan tanpa proses tersebut
2. Mampu melaksanakan prosedur crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun.
3. Mampu melakukan analisis terjadinya proses crisping
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis.



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Produk pascapanen hortikultura berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuan yang cepat (Ness dan Powles, 1996; Salunkhe et al., 1974).
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).
Menurut Story & Simons (1989), secara umum suhu 450C adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu tersebut produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan.
Dengan karateristik morfologinya, bawang prei dan sawi cina yang telah meningkat suhunya sulit untuk didinginkan dengan cepat sehingga proses respirasi dan transpirasi masih berlangsung tinggi yang berakibat pada penurunan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang hanya dicelup pada suhu 300C. Suhu yang tinggi pada bagian tengah produk, sebagai akibat tidak dilakukan pendinginan yang cepat sebelum dilakukan penyimpanan dalam ruang berpendingin atau pre-cooling, menyebabkan laju respirasi dan transpirasi yang tinggi (Shewfelt, 1990).
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan oven (Cantwell, 2001). Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut:
Wa - Wb
KA (%) = —————— x 100%
Wa
Keterangan : KA = Kadar Air (% bb)
Wa = Berat sebelum oven
Wb = Berat akhir setelah oven
Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertama
sebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan (100C±20C).




BAB III. METODOLOGI


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum di laksanakan pada hari rabu tanggal 13 Oktober 2010 pukul 16.00 sampai selesai, pelaksanaan praktikum dilaksanakan di Laboratorium Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian,Universitas Jember.

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Jenis sayuran daun
2. Air dengan suhu 300C,400 C,500C
3. Tali rafia

3.2.2 Alat
1. Baskom
2. Thermometer
3. Timer
4. Ruang pendingin
5. pisau

3.3 Langkah Kerja
1. Menentukan dua jenis sayuran
2. Memotong atau memangkas bagian daun bahan yang rusak,layu fisiologis,dan busuk.
3. Menentukan jumlah sampel untuk seitap unit,percoabaan dan setiap unit dan menentukan setiap unit percobaan dengan tali rafia (bukan karet).
4. Menyiapkan air hangat dengan menggunakan waterbart dan suhu air diatur terpisah berturut-turut dengan suhu 300C,400 C,500C
5. Mencelupkan sayuran bahan percobaan dengan waktu berbeda yaitu 1,3,5 meit
6. Menyiapkan kontrol yaitu sayuran yang tanpa mencelup kedalam air hangat di atas.
7. Menempatkan sayuran yang telah di celupkan di atas secepatnya ke dalam kulkas pada bagian chiller dengan perkiraan suhu ± 50 C
8. Menyimpan sayuran bahan percobaan tersebut di dalam kulkas selama 24 jam
9. Setelah penyimpanan dalam kulkas di atas,selanjutnya mengamati mutu secara subjektif meliputi, warna,tekstur dan kenampakan visual secara keseluruhan dengan menggunakan kriteria dan skala numerik, pada tabel pada fariabel pengamantan. Melakukan pengamatan secara objektif terhadap bobot sayuran setelah dan sebelum crisping.



BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Tabel pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran
Perlakuan Warna Tekstur Kualitas
Kontrol 4 3 3
300 C 1 menit 5 5 4
3 menit 4 4 3
5 menit 4 3 3
400 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 5
5 menit 4 3 4
500 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 4
5 menit 5 5 4











Tabel pengamatan bobot sayuran
Suhu Ba gram Bb gram
Kontrol 23,5
300 C 1 menit
2 menit
3 menit 47
14
27,1 50,2
15,7
31,7
40 0 C 1 menit
2 menit
3 menit 19,3
30,72
20,32 21,2
43
26,4
500 C 1 menit
2 menit
3 menit 20,07
18,4
40,09 23
21,7
49,3

Grafik pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran



Grafik pengamatan bobot sayuran















Grafik PB







4.2 Pembahasan
Dari grafik di atas dapat di ambil suatu gagasan bahwa pengaruh crisping sangatlah berpengaruh besar terhadap tingkat kelayuan produk hortikultura (sayuran). Hal ini tampak pada grafik di atas bahwa pengaruh suhu dan waktu perendaman dapat mempengaruhi besar kecilnya tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran. Dalam grafik di atas perlakuan yang terendah adalah perlakuan control, hal ini cukup wajar karena perlakuan control adalah perlakuan yang tanpa adanya penambahan suhu dan lama perendaman sehingga kondisinya adalah biasa disebut dengan kondisi stabil (biasa). Dari grafik di atas di dapat suatu data yang mennyatakan bahwa perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan menggunakan perlakuan 400C dengan lama perendaman selama satu menit dan dua menit. Dibanding dengan perlakuan 500C yang mendapatkan hasil yang sama.
Dari ketentuan di atas dapat di simpulkan suatu gagasan bahwa perlakuan yang benar dan efisien adalah perlakuan yang menggunakan perlakuan 400C. perlakuan ini adalah perlakuan yang sangat baik untuk kelanjutan proses crisping. Disamping itu perlakuan ini merupakan perlakuan yang sudah optimum, karena semakin tinggi perlakuan yang diberikan, maka akan mengakibatkan penurunan tingkat kelayuan dan bahkan dapat mempercepat tingkat kelayuan.
Pada proses crisping suatu hal yang berbeda yang dapat diketahui yang sangat terlihat adalah terjadinya perubahan fisik (perubahan yang nampak),yaitu tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran yang dilakukan proses crisping kemudian juga adanya perubahan warna sayuran yang tejadi,hal ini terlihat perbedaan yang terjadi pada data di atas bahwa pada beberapa perlakuan ada perbedaan antar perlakuan kontrol,300C,400C,dan 500C. Pada perlakuan warna daun yang tampak telihat adalah
Pada proses di atas terjadi adanya fenomena yang terjadi pada saat proses crisping,proses yang terjadi adalah terjadinya tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tinggi,maka terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk. Sehingga banyak kemungkinan apabila suhu pada di luar produk di tingkatkan maka akan mendifusi air ke dalam produk semaksimal mungkin yang bertujuan untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami. Denga demikian kita bisa menekan adanya proses pelayuan yang terjadi pada komoditi pertanian khususnya sayur-sayuran.
Pada praktikum kali ini di lakukan perlakuan yang di lakukan diantaranya adalah dengan perlakuan kontrol yaitu tanpa adanya perlakuan suhu waktu perendaman , kemudia ada perlakuan dilakukan perendaman dengan suhu dan waktu yang berbeda-beda yaitu dengan perlakuan 300C,400C,dan 500C dengan waktu yang berbeda yaitu 1, 3, dan 5 menit. Disini terjadi suatu perbedaan yany terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan menggunakan suhu yang berbeda-beda dan juga waktu yang berbeda pula maka terjadi perubahan. Untuk suhu sendiri pada suhu 300C dan pada waktu satu menit mendapatkan hasil yang cukup memuaskan yang terjadi adalah dengan hasil yang cukup tinggi dan masih dalam kategori sayuran yang segar, warna masih tampak hijau,hal ini terlihat sangat berbeda dari perlakuan kontrol,yang hanya mendapat poin dengan kategori warna hijau namun tekstur mengalami kemunduran dan pada tingkat kelayuan mengalami kelayuan yang dikategorikan agak layu,dan kualitasnya yaitu biasa saja tidak di kategorikan sebasgai kategori terbaik.
Namun pada perlakuan suhu 400C,dan 500C dengan waktu yang sama yaitu 1 menit mendapatkan hasil yang sama bagusnya. Hal ini mungkin di akibatkan oleh daya tahan tubuh sayuran antara perlakuan satu dengan yang lainnya mengalami perbedaan,sehingga hasil yang didapat bisa sama. Dari hal tersebut dapat diambil suatu gagasan yang mana pada perlakuan 400C merupakan perlakuan yang cukup efektif dari pada perlakuan lainnya, karena hal ini merupakan hal yang optimum dari semua perlakuan, itu terlihat dari hasil yang telah diperoleh pada suhu 400 C dengan waktu 1 menit merupakan perlakuan yang optimum, sebab apabila perlakuan di tingkatkan lagi ternyata masih tetap mendapatkan hasil yang sama. Pada perlakuan suhu 500C malah mendapatkan hasil yang yang menurun dibanding perlakuan lainnya. Ada sumber lain yang melakuan percobaan yang hampir sama yaitu sebagai berikut,
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).


BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Dari data dan pembahasan di atas dapat diketahui dan di ambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Penggunaan cara crisping terbukti bahwa dapat meminimalisir adanya tingkat pelayuan akibat tras=nspirasi tinggi. Karena sayuran yang telah di crisping kandungan airnya dapat meningkat kembali.
2. Untuk melakukan proses crisping penggunaan perlakuan yang efektif adalah menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien dan juga sudah terbukti dari sumber pustaka lain juga berpendapat sama,namun perbedaannya hanya waktu perendaman saja.
3. Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertamasebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan.

5.2Saran
Untuk melakuakan proses crisping lebih baik menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien hal interbukti nyatai sudah




DAFTAR PUSTAKA


Cantwell, M. & A. Thangaiah. 2001. Delays to cool affect visual quality, firmness and gloss of bell peppers and eggplants. Perishables Handling Quarterly, August 2001, Issue No. 107.

Hardenberg, R. E., A. E. Watada, & C.Y. Wang. 1986. The Commercial Storage of Fruits, Vegetables, Florist and Nursery Stocks. USDA Agric. Handbook No. 66. USDA Washington.

Kader, A.A. 2002. Postharvest Technology of Horticultural Crops. 3rd Edition. University of California. Div. of Agriculture and Natural Resources, California

Kays, S. J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An AVI Book, NY

Ness, A. R. and Powles, J. W. 1996. Does eating fruit and vegetables protect against heart attack and stroke? Chem. Industry (Oct): 792- 794.

PMA-Produce Marketing Association. 1988. Retail Produce Training Program. Silverweig Association, Inc & Produce Marketing Association, Inc. New York.

Story, A. & D. Simons. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable Association Ltd., Fitzroy, Vic.

Supartha ,2007.Pengaruh Suhu Air dan Lama Waktu Perendaman Beberapa Jenis Sayuran Daun pada Proses Crisping. Denpasar

Van Den Berg, L. & C.P. Lenz. 1973. High humidity storage of carrots, parsnips, rutabagas and cabbage. J. Am. Soc. Hort. Sci. 98: 129-132.

Wills, R.B.H., B. McGlasson, D. Graham, & D. Joyce. 1998. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th Ed, University of New South

hama pasca panen pada ubi jalar dan cara pengendaliannya

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ubi jalar atau ketela rambat diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia. Ubi jalar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun. Umumnya ubi jalar diusahakan pada lahan tegalan, kebun, dan pekarangan, serta pada lahan sawah tadah hujan (Kantor Statistik Sulawesi Selatan 1990). Ubi jalar merupakan tanaman penting ketujuh di dunia (Jansson dan Raman 1991).
Plasma nutfah (sumber genetik) tanaman ubi jalar yang tumbuh di dunia diperkirakan berjumlah lebih dari 1000 jenis, namun baru 142 jenis yang diidentifikasi oleh para peneliti. Lembaga penelitian yang menangani ubi jalar, antara lain: International Potato centre (IPC) dan Centro International de La Papa (CIP). Di Indonesia, penelitian dan pengembangan ubi jalar ditangani oleh Pusat Peneliltian dan Pengembangan Tanaman Pangan atau Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi), Departemen Pertanian.
Ubi jalar di Indonesia merupakan tanaman pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat, Di sebagian besar daerah di Indonesia, ubi jalar merupakan bahan pangan sampingan, tetapi di kawasan timur Indonesia terutama Papua, ubi jalar merupakan bahan pangan pokok. Sebagai tanaman palawija penghasil karbohidrat, ubi jalar menduduki peringkat ketiga setelah jagung dan ubi kayu,jadi peranan umbi jalar di Indonesia sangat penting.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ubi jalar antara lain adalah umur, jenis atau varietas, kesuburan tanah, tinggi tempat penanaman, iklim (musim tanam), serta gangguan hama dan penyakit. Ratusan spesies serangga dapat merusak ubi jalar, namun yang paling merusak adalah Cylas formicarius atausweet potato weevil, disebut juga kumbang penggerek umbi atau hama boleng. Selain itu, daun dari ubi jalar pun tidak dapat lepas dari serangan hama spodoptera litura atau yang lebih dikenal dengan sebutan ulat grayak. Sedangkan penyakit yang sering menyerang ubi jalar adalah penyakit bercak daun.

1.2 Tujuan
1. Unutuk mengetahui beberapa hama yang menyerang ubi jalar
2. Untuk mengetahui gejala yang tampak pada setiap penyerangan ang dilakukan oleh hama ubi jalar
3. Untuk mengetahui cara pengendalian yang dilakukan unutk meminimalisir kerugian yang diakibatkan serangan hama yang menyerang ubi jalar




BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat digunakan untuk diversifikasi menu guna mempertahankan swasembada beras. Ubi jalar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun. Umumnya ubi jalar diusahakan pada lahan tegalan, kebun, dan pekarangan, serta pada lahan sawah tadah hujan (Kantor Statistik Sulawesi Selatan 1990). Ubi jalar merupakan tanaman penting ketujuh di dunia (Jansson dan Raman 1991).
C. formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar diseluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001). CIP (1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dan termasuk 10 kendala utama yang perlu mendapat perhatian. Di Kenya (Afrika), hama ini merupakan kendala kedua dalam peningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika Serikat), hama ini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula di Indonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C. formicarius merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dan di karantina (Komi 2000; Sheng 2000).
Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan memangkas polong–polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 1985). Menurut Adisarwanto & Widianto (1999) serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hst.
Sekitar 10% petani ubi jalar di Sulawesi Selatan menggunakan insektisida untuk mengendalikan C. formicarius, Penggunaan insektisida sintetis untuk mengendalikan hama ini tetap dianjurkan, baik insektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yang sistemik. Aplikasi insektisida pada saat tanam dapat mencegah kerusakan pada bibit, dan aplikasi setelah tanam dapat mencegah serangan C. Formicarius dari tanaman di sekitarnya. Penggunaan insektisida akan lebih baik jika dikombinasikan atau dipadukan dengan komponen-komponen pengendalian lainnya seperti varietas tahan, cara budi daya (pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi), dan musuh alami (Nonci dan Sriwidodo 1993)
Hasil pengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akar tanaman ubi jalar yang terserang kumbang C.formicarius selama 24 jam akan menghasilkan terpene phytoalexins. Diduga enzim pektolitik yang terdapat pada kumbang C. formicarius adalah terpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisa gerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan, dan patahnya batang rambat serta daun menjadi hijau pucat. Supriyatin (2001) mengemukakan bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi lebih gelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsi karena rasanya pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan merangsang pembentukan senyawa toksik yang dapat mempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin 2001).
Musuh alami yang berupa pathogen belum banyak diketahui baik jenis maupun perannya. Beberapa jenis pathogen yang menjadi musuh alami C. formicarius adalah jamur, virus, bakteri, protozoa dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik, Beauveria bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C. formicarius mencapai 80–90% jika spora B.bassiana diaplikasikan pada tanah steri (Talekar et al. 1989). Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi.




BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Tekhnologi Panen Dan Pasca Panen dilakukan pada hari senin tanggal 29 Nopember 2010 dengan waktu pengamatan selama 4 minggu dilakukan di Jurusan Hama Penyakit Tanaman Laboratorium Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jember

3.2 Bahan dan alat
3.2.1 Bahan
1. Ubi jalar sebanyak 3 kg
2. Kotak plastik

3.2.2 Alat
1. Cutter

3.3 Cara kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Meletakkan ubi jalar pada kotak plastic sebanyak tiga ulangan dan di tutup.
3. Meletakkan pada tempat yang telah disediakan
4. Melakukan pengamatan setiap minggu sekali
5. Pada saat pengamatan melakukan pemotongan umbi yang terlihat terserang dan mencari hama yang berada pada umbi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Minggu ulangan Jenis hama yang menyerang
C. formicarius Ulat grayak Kutu/kumbang

0 1 - - -
2 - - -
3 - - -

1 1 1 1 -
2 - - -
3 - - -

2 1 2 - -
2 - - -
3 - - -

3 1 2 - -
2 - - 1
3 - - -

4.2 Pembahasan
Dari data di atas terlihat bahwa hama yang menyerang ubi jalar yang terbanyak adalah hama C. formicarius dan diikuti oleh hama ulat grayak dan hama lainnya yang tidak diketahui jenisnya, dari data diatas diketahui pada minggu ke 0 tidak terdapat adanya hama yang berada pada umbinamun pada minggu pertama mulai awal pengamatan mulai terdapat serangan hama yaitu serangan C. formicarius dan ulat grayak yang dapat mengakibatkan kerusakan dan apabila terus menerus akan mengakibatkan kerusakan yang sangat fatal pada ubi jalar. Dari data diketahui bahwa hanya perlakuan satu yang terdapat serangan C. formicarius hal ini mungkin disebabkan pada umbi yang berada pada perlakuan satu saja yang mengandung C. formicarius dan pada perlakuan lain tidak terdapat adanya hama C. formicarius dan hama-hama lainnya hal ,ini membuktikan bahwa C. formicarius masih dapat berkembang pada umbi yang telah di hinggapinya.
Kemudian pada minggu berikutnya yaitu minggu ke 2 hama C. formicarius mengalami perkembangan yaitu jumlahnya bertambah,hal ini mungkin larfa yang masih berada dalam umbi telah menjadi imago (C. formicarius). namun untuk ulat grayaknya sudah tidak ada,hal ini mungkin ulat grayak itu mati karena tidak tahan berada di dalam ubi,karena perlakuan yang dilakukan ubi yaitu dengan menempatkan ubi ke dalam kotak plastic, dan ulat grayak tidak tahan terhadap kondisi seperti itu.
Kemudian pada minggu berikutnya yaitu pada minggu ke 3 hama yang masih tinggal adalah C. formicarius dan jumlahnya masih tetap dan sama dengan minggu sebelumnya yaitu berjumlah 2, namun pada perlakuan 2 terdapat hama yang tidak diketahui jenisnya, dengan cirri-ciri seperti kutu dan mempunyai tanduk kecil di bagian kepalanya, mungkin bisa di gambarkan seperti kumbang yang menyerang pada beras.
Dari data diatas diketahui hama yang paling banyak menyerang ubi jalar adalah hama C. formicarius yang dapat mengakibatkan kerusakan pada ubi jalar akibat dari sarangan C. formicarius dapat mengakibatkan ubi jalar sudah tidak dapat di konsumsi dan hal ini sudah terbukti dari beberapa sumber yaitu diantaranya Hasil pengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akar tanaman ubi jalar yang terserang kumbang C.formicarius selama 24 jam akan menghasilkan terpene phytoalexins. Diduga enzim pektolitik yang terdapat pada kumbang C. formicarius adalah terpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisa gerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan, dan patahnya batang rambat serta daun menjadi hijau pucat. Supriyatin (2001) mengemukakan bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi lebih gelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsi karena rasanya pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan merangsang pembentukan senyawa toksik yang dapat mempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin 2001).
Dari pernyataan tersebut maka perlu adanya tindakan untuk mencegah terjadinya serangan yang dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal dan dapat merugikan petani dan juga merudak kesehatan bagi yang telah mengkonsumsinya tindakan yang dilakukan adalah dengan dua cara yaitu tindakan secara prefentif dan tindakan secara kuratif. Dimana tindakan-tindakan tersebut sangat membantu untuk mengurangi atau meminimalisir tingkat serangan yang bisa terjadi. Tindakan secara prefentif adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sebelum terkadi serangan yang bertujuan untuk mencegah adanya serangan yang mungkin bisa masuk,dan tindakan secara kuratif adalah tindakan yang dilakukan setelah terjadi serangan atau bisa dikatakan tindakan yang dilakukan pada saat ubi mengalami serangan.
Pengendalian menggunakan cara prefentif,yaitu dengan melakukan beberapa cara dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). PHT merupakan pendekatan ekologi dalam pengelolaan agroekosistem. Oleh karena itu, PHT mengutamakan berfungsinya mekanisme pengendalian alami yang secara dinamis dapat menjaga populasi hama tetap berada pada keseimbangan umum yang rendah. Komponen PHT meliputi peng gunaan varietas tahan, teknik bercocok tanam, musuh alami, dan penggunaan pestisida bila diperlukan. CABI (2001) melaporkan bahwa beberapa komponen pengendalian C. formicarius yang telah diteliti meliputi teknik bercocok tanam, pemusnahan inang antara, serta peng- gunaan varietas tahan, musuh alami, dan seks feromon.
Pengendalian menggunakan musuh alami merupakan pengendalian yang cukup efektif. Musuh alami yang berupa pathogen belum banyak diketahui baik jenis maupun perannya. Beberapa jenis pathogen yang menjadi musuh alami C. formicarius adalah jamur, virus, bakteri, protozoa, dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik, Beauveria bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C. formicarius mencapai 80–90% jika spora B.bassiana diaplikasikan pada tanah steril(Talekar et al. 1989). Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatanC. formicarius yang juga tinggi.
Untuk pengendalian secara kuratif yaitu dengan melakukan pemotongan umbi yang telah terserang dan membuangnya, hal ini merupakan salah satu cara agar serangan yang duakibatkan tidak menyebar ke seluruh bagian umbi dan juga dengan menyortir umbi yang telah terserang dengan mengelompokkan tingkat kerusakannya dengan begitu kita dapat mengetahui mana yang masih bisa di pertahankan, cara ini merupakan cara yang efektif karena melihat adanya tingkat kerusakannya, apabila tidak dilakukan maka akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar,sehingga kerugoiannyapun semakin besar apabila tidak dilakukan.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari data serta hasil dan literature yang ada dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Beberapa hama penting yang menyerang ubi jalar diantaranya adalah Cylas formicarius dan ulat grayak yang dapat mengakibatkan tingkat kerusakan yang akan mengakibatkan tingkat kerugian yang sangat besar untuk ubi jalar.
2. Gejala yang tampak pada ubi setelah terserang hama Cylas formicarius adalah,ubi tampak berlobang dan terdapat warna hitam yang mengandung zat beracun yang dapat mengakibatkan penyakit apabila di konsumsi manusia.
3. Cara pengendaliannya yaitu secara prefentif dan kiratif, unutk pengendalian secara prefentif yatu pengendalian atau pencegahan seberlum terjadi serangan, dan pengendalian secara kuratif adalah pengendalian yang dilakukan apabila ubi sudah mengalami serangan.

5.2 Saran
Saran yang bisa sampaikan adalah, untuk mencegah serangan yang bisa berlanjut dan dapat mengakibatkan kerusakan yang besar, maka kita harus mengetahui dan dapat memperhatikan ambang ekonominya,apabila kerusakan itu akan berlanjut maka harus segera dilakukan pengendalian

DAFTAR PUSTAKA

Capinera, J.L. 1998. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius). Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. 7 pp.

Jansson, R.K., H.H. Bryan, and K.A. Sorensen.1987. Within-vine distribution and damage of sweet potato weevil, Cylas formicarius elegentulus (Coleoptera: Curculionidae), on four cultivars of sweet potato in Southern Florida. Florida Entomologist 70(4): 523−526.

Nonci, N., Sriwidodo, dan A. Muis. 1994.Pengendalian hama penggerek ubi Cylas formicarius dengan insektisida pada beberapa varietas ubi jalar. Agrikam, Penelitian Pertanian Maros (no. 3): 139−146.

Sato, K., I. Uritani, and T. Saito. 1982. Properties of terpene-inducing factor extracted from adults of the sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brethidae). Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368−374.

Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija (no. 2):22−29.

Talekar, N.S., R.M. Lain, and K.W. Cheng. 1989.Integrated control of sweet potato weevil at Penghu Island. Plant Prot. Bull. (Taiwan) 31: 175−189.

Waddil, V.H. 1982. Control of the sweet potato weevil, Cylas formicarius elegantulus by foliar application of insecticides. Proceeding of the First International Symposium AVRDC Taiwan. p. 157−169.

Waluyo. 1992. Perbanyakan hama lanas Cylas formicarius F. di gudang. Dalam S. Hardjosumadi,Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm.33−35.

HAMA PASCA PANEN YANG MENYERANG BIJI KOPI

HAMA PASCA PANEN YANG MENYERANG BIJI KOPI
Hypothenemus hampei (Ferrari), Bubuk buah kopi (Scolytidae)
Subsektor perkebunan merupakan penghasil komoditas ekspor yang menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara. Namun hal ini tidak semulus yang di harapkan karena Adanya gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT) seringkali menjadi faktor penghalang produktivitas. Gangguan biasanya dimulai sejak tanaman di lapang hingga di penyimpanan. Untuk gangguan yang yang di alami pada masa penyimpanan,sering kita abaikan,namun hal ini dapat mempengaruhi tentang besar kecilnya keunutngan yang akan di hadapi pada saat pemasaran,salah satunya yaitu hama yang menyerang pada biji kopi yang sudah dipanen (mengalami masa simpan).

Gambar 1. Hypothenemus hampei
Bentuknya menyerupai anggota keluarga Bostrichidae, tetapi lebih bulat atau pendek. Kumbang dewasa berwarna hitam dengan sayap depan dan pronotum yang besar dan berduri pendek-pendek. Panjang tubuh kurang dari 2 mm yang jantan 1,2 mm dan yang betina 1,7 mm. Larva berwarna putih. Kumbang jantan tidak bersayap dan jarang terdapat dalam biji kopi. Terdapat di beberapa negara yang beriklim panas di seluruh dunia dimana terdapat budidaya kopi. Kumbang ini sebenarnya adalah hama atau bubuk buah kopi di lapang. Tetapi dalam keadaan tertentu setelah pemetikan buah kopi, kumbang masih dapat terus hidup sebagai hama pasca panen. Kehidupan pada pertanaman kopi menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut: Bubuk betina biasanya yang aktif merusak dan membuat liang gerek pada ujung kulit buah, kemudian membelok ke dalam salah satu bijinya. Mereka hanya bertelur pada buah-buah yang bijinya telah mengeras atau pada buah yang telah masak. Dalam biji kopi terdapat semacam rongga dimana telur-telur diletakkan. Dalam satu biji dapat diletakkan lebih dari sebutir telur. Produksi telur rata-rata 70 butir yang diletakkan dalam dua periode bertelur.

Gambar 2. Kumbang masuk ke dalam buah kopi pada saat buah masih di lahan,kumbang menaruh telur.
Pada periode telur yang pertama biasanya diletakkan telur lebih banyak daripada yang kedua. Setelah menetas, larva segera makan bagian biji dan meneruskan menggerek. Pada waktu menjelang kepompong dibuat liang gerek yang agak melebar dimana kelak akan ditempati oleh kepompongnya. Daur hidupnya tergantung pada tinggi tempat dimana tanaman kopi tumbuh, biasanya berkisar antara 20-36 hari. Perbandingan jantan:betina = 1:20. Di dalam gudang, bila bubuk tersebut masih dapat hidup biasanya hanya bertahan saja dan tidak dapat berkembang biak.

Gambar 3. Keadaan biji kopi yang telah terserang hama Hypothenemus hampei

Hal ini umumnya terjadi di pedesaan dimana para petani menyimpan biji-biji kopi tanpa penjemuran pengeringan sempurna. Di alam dikenal beberapa musuh alami, terutama yang berupa cendawan parasit. Misalnya: Botrytis stephanoderis dan Spicaria javanica. Juga semut merah yang buas (Dind mus) merupakan predator yang penting. Pernah dilakukan introduksi parasit larva Prorops nasuta Walt. Dan Heterospilus coffeic la Schon. Dari Afrika ke Jawa; namun keduanya tidak mau menetap.
CARA PENGENDALIAN
Cara pengendalian yang aman adalah menggunakan predator hama tersebut. Serangga ini mempunyai tiga jenis musuh alami yang penting yaitu Prorops nasuta, Heterospilus coffeicola, dan Cephalonomia stephanoder
a. Prorops nasuta
Adalah serangga yang berwarna coklat kehitaman dengan antenna dan kaki berwarna coklat muda. Serangga ini berasal dari afrika. Beberapa ribu Prorops nasuta dewasa dilepaskan di kebun kopi, tetapi spesies ini tidak dapat berfungsi sebagai pengendali yang efektif karena tidak dapat meneruskan perkembangannya.
b. Heterospilus coffeicola
Serangga ini juga di import ke jawa, akan tetapi tampaknya kecil sekali kemungkinan sebagai pengendali yang efektif. Hal ini di sebabkan karena serangga dewasanya hidup bebas, sukar di biakkan di laboratorium dan membutuhkan buah yang terserang secara berturut-turut unutk mempertahankan hidupnya.
c. Cephalonomia stephanoderis
Merupakan parasit penting hama ini. Hampir 50% Hypothenemus hampei yang terdapat dalam biji hitam terparasit. Larvanya merupakan ectoparasit pada larva instant terakhir. Parasit ini mempunyai kemampuan yang besar dalam menurunkan populasi hama ini. Cephalonomia stephanoderis ini belum pernah di introduksi di Negara-negara untuk tujuan pengendalian hayati, tetapi di harapkan dan tampaknya memperlihatkan potensi untuk tujuan tersebut.
Selain ketiga serangga parasit dan predator tersebut, juga terdapat musuh alami berupa jamur yang pernah menyerang Hypothenemus hampei yaitu Brotrytis stephanoderis Bally, dan Specaris javanica Bally. Jamur-jamur ini biasanya di temukan pada larva Hypothenemus hampei, tetapi dapat pula membunuh imagonya dalam waktu yang singkat. Akan tatepi kelemahannya adalah jamur-jamur ini tidak dapat menyebar lebih jauh dari tempat infeksinya dan dapat menyebabkan kematian dalam jumlah besar. Jamur ini tidak efektif pada musim kemarau.

Senin, 13 Desember 2010

sleksi benih tahan kering melalui uji PEG

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
LABORATORIUM TEKNOLOGI BENIH DAN PEMULIAAN TANAMAN


LAPORAN PRAKTIKUM

NAMA : AHMAD NUR H.G.A
NIM : 091510501119
GOL./ KELOMPOK : KAMIS/5
ANGGOTA : 1. ARDIAN F. (091-1117)
2. AROFI R. (091-1120)
3. AYU PUMALA (091-1115)
4. ASMUNI ADI W. (091-1085)
ACARA PRAKTIKUM : SELEKSI BENIH TAHAN KERING MELALUI UJI CEKAMAN PEG
TANGGAL PRAKTIKUM : 25 NOVEMBER 2010
TANGGAL PENYERAHAN : 09 DESEMBER 2010
ASISTENSI : 1. ANDRI SETYO N.
2. DWI MAY ABDUL IMAM B.
3. ANJAR RAHMADANI
4. NUR LAILI IKA
5. FITRI TRISIANAWATI
6. ARIFIN ZAID

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Permasalahan dalam pengembangan tanaman di lahan marginal adalah kurang tersedianya varietas tanaman yang dapat beradaptasi pada lingkungan tercekam. Cekaman lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, radiasi, deficit hara dan kekeringan. Oleh karena itu program pemuliaan tanaman diarahkan untuk menghasilkan tanaman yang lebih adaptif pada Iingkungan tersebut. Di antara berbagai cekaman lingkungan, kekeringan merupakan cekaman yang paling banyak dijumpai, baik di Indonesia maupun diseluruh dunia. Pemanfaatan lahan kering mempunyai hambatan berupa produktivitas yang rendah, akibat kekurangan air yang sesuai dengan kebutuhan tanaman
Varietas tanaman yang dikembangkan tidak semuanya dapat beradaptasi dan berproduksi tinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya dikembangkan varietas tanaman yang sesuai dengan kondisi lokaI. Untuk itu diperlukan pengujian ketahanan tanaman terhadap kekeringan. Pengujian dapat dilakukan pada tingkat sel atau kallus dengan menggunakan metode in vitro tanpa atau dengan penggunaan agen seleksi kekeringan seperti Polyethylen Glycol (PEG). Penambahan PEG dalam larutan atau media tanam dapat menurunkan potensial air media, sama dengan penurunan potensial air tanah yang mengarah pada kekeringan. Semakin pekat konsentrasi PEG yang diberikan semakin rendah potensial air larutan mengakibatkan cekaman bertambah.
Aplikasi PEG secara in vitro didapatkan bahwa beberapa galur mutan tanaman mempunyai toleransi terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan PEG 20%. Selanjutnya, melakukan pengujian ketahanan galur/varietas jagung terhadap kekeringan didapatkan bahwa pada konsentrasi 0,35 g L-1 galur/varietas jagung masih memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Musa (2000) menguji ketahanan dengan laruran PEG, konsentrasi 100g L-1 untuk memberikan cekaman osmotic setara -0.5 MPa, didapatkan bahwa varietas yang toleran kekeringan menghasilkan 55% kallus menjadi planlet dibandingkan kontrol, sedangkan yang agak toleran dan peka masing-masing menghasilkan 7%, dan 4%. Nampaknya, kapasitas regenerasi setiap varietas searah dengan tingkat kepekaan terhadap kekeringan.

1.2 Tujuan
1. Menentukan komponen-komponen pada pengujian kemurnian benih dan menghitung hasil pengujian kemurnian benih
2. Untuk memperoleh informasi daya berkecambah yang berkaitan dengan nilai pertanaman dari benih di lapang produksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Benih tanaman mempunyai kemampuan berkecambah pada kisaran air tanah tersedia mulai dari kapasitas lapangan sampai titik layu permanent. Yang dimaksud dengan kapasitas layu lapangan dari tanah adalah jumlah air maksimum yang tertinggal setelah air permukaan terkuras dan setelah air yang keluar dari tanah karena gaya habis, sedangkan titik layu permanen adalah suatu keadaan dari kandungan air tanah dimana terjadi kelayuan pada tanaman yang tak dapat balik. (Lita Sutopo 1984).
Faktor-faktor cekaman secara garis besar dibedakan atas dua yaitu cekaman biotik dan abiotik, cekaman biotik yaitu: sebagai dampak negativ dari faktor-faktor tumbuhan biologis pada organisme di lingkungan tertentu. sedangkan cekaman abiotik adalah sebagai dampak negatif dari faktor-faktor non hidup yang tidak menguntungkan dan yang berpengaruh buruk pada tanaman budidaya. Beberapa contoh cekaman biotik yaitu : HPT, virus, Jamur, dan gulma sedangkan contoh cekaman abiotik yaitu: cahaya, curah hujan, ph tanah, musim hujan atau kemarau dan suhu (Wahju dan Asep,1990).
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan.Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah – daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat/ merana, dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34 derajat C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23-27 derajat Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 derajat C.Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil.Benih yang akan digunakan sebaiknya bermutu tinggi, baik mutu genetik, fisik maupun fisiologinya. Berasal dari varietas unggul (daya tumbuh besar, tidak tercampur benih/varietas lain, tidak mengandung kotoran, tidak tercemar hama dan penyakit). Benih yang demikian dapat diperoleh bila menggunakan benih bersertifikat. Pada umumnya benih yang dibutuhkan sangat bergantung pada kesehatan benih, kemurnian benih dan daya tumbuh benih. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Tanaman jagung tumbuh optimal pada tanah yang gembur, drainase baik, dengan kelembaban tanah cukup, dan akan layu bila kelembaban tanah kurang dari 40% kapasitas lapang, atau bila batangnya terendam air. Pada dataran rendah, umur jagung berkisar antara 3-4 bulan, tetapi di dataran tinggi di atas 1000 m dpl berumur 4-5 bulan. Umur panen jagung sangat dipengaruhi oleh suhu, setiap kenaikan tinggi tempat 50 m dari permukaan laut, umur panen jagung akan mundur satu hari (Hyene 1987).

BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari kamis tanggal 25 November 2010 di Laboratorium Teknologi Benih dan Pemuliaan Tanaman.jurusan Budidaya Pertanian fakultas Pertanian Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Substrat kertas merang
2. Pinset
3. Alat pengecambah

3.2.2 Bahan
1. benih jagung

3.3 Cara Kerja
1. Membuat larutan NaCl dengan konsentrasi 0% ; 2% ; 4% ; atau 0 ; 2 ; 0,4m. dalam 0,2 m(setara 7,6 atmosfir tekanan osmose) dengan cara melarutkan 11,7 g NaCl dalam 1 liter air, sedangkan konsentrasi 0% tanpa NaCl cukup diberi air
2. Merendam substrat kertas merang pada larutan dengan konsentrasi yang telah dibuat hingga semua bagian kertas basah merata
3. Menanam benih jagung local dan hibrida pada substrat tersebut dengan metode UKDdp sebanyak 25 butir perulangan, dan diulang sebanyak 3 kali

3.4 Pengamatan
1. Mengamati kecambah normal dan mati pada hari ke-3 (3x24jam) dan ke-5 (5x24jam)
2. Menghitung kekuatan tumbuh benih berdasarkan presentase kecambah normal pada hari ke-3 (3x24jam) dan ke-5 (5x24jam)
3. Mengamati pula bobot basah dan kering dari tajuk dan akar pada hari ke-5 (5x24jam). Bobot kering tajuk dann akar diperoleh dengan cara mengoven kecambah pada suhu 70°C selama 2x24jam (berat kering konstan). Kemudian menimbang bobot kering masing-masing bagian tanaman.
4. Menganalisis hasil percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan membedakan 9 macam perlakuan (tiga macam varietas dengan tiga macam konsentrasi NaCl) dalam tiga ulangan.
5. Membandingkan masing-masing kombinasi perlakuan, dan memberikan kesimpulan benih mana yang tahan terhadap kekeringan atau NaCl berdasarkan parameter yang diamati. Apabila benih jagung berkecambah normal hari ke-5 ≥ 75% dikategorikan sebagai benih bervigor tinggi atau tahan terhadap cekaman air atau NaCl.


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Jenis benih Konsentrasi NaCl
UL Perkecambahan
BB
Tajuk+akar
BK
Tajuk+akar
Hari ke 3 Hari ke 5
N AbN M N AbN M




Lokal
1 0%
(0 m) 1 16 9 0 19 1 5
2 15 10 0 16 5 4
3 - - - - - -
2%
(2 m) 1 19 6 0 20 2 3
2 17 6 0 17 4 4
3 - - - - - -
4%
(4 m) 1 2 13 - 19 9 7
2 10 - - 11 8 6
3 - - - - - -




Lokal 2 0%
(0 m) 1 23 2 0 23 0 2
2 19 1 5 19 0 6
3 - - - - - -
2%
(2 m) 1 24 1 0 24 0 1
2 18 5 2 18 4 3
3 - - - - - -
4%
(4 m) 1 14 8 2 9 10 4
2 17 4 4 14 3 8
3 - - - - - -
Ket : N : Benih kecambah normal
AbN : Benih Kecambah Abnormal
M : Benih Kecambah Mati

4.2 Pembahasan
Dari data di atas dapat diketahui bahwa pengaruh pemberian NaCl dapat mempengaruhi pertumbuhan perkecambahan,dapat juga mempengaruhi normal tidaknya kecambah yang akan tumbuh. Seperti pada perlakuan kontrol yaitu perlakuan tanpa pemberian NaCl 0% (0 m) mendapatkan hasil untuk kecambah normal pada perlakuan jenis benih local 1 sebanyak 19 yaitu dengan daya kecambah sebesar 76% hal ini menunjukkan benih yang dikecambahkan masih layak untuk di tanam dan untuk perlakuan local 2 jumlah kecambah yang hidup normal adalah sebanyak 23 dengan prosentase daya kecambah sebesar 92% dengan jumlah keseluruhan benih sebanyak 25 benih yang dikecambahkan kemudian pada perlakuan lain yaitu pada perlakuan jenis benih local 1 dengan konsentrasi 2 % (2 m) merupakan perlakuan yang masih dalam lingkup toleran bagi kecambah,karena jumlah benih yang tumbuha normal masih dalam kategori dan mempunyai daya kecambah sebesar 80% dan untuk perlakuan 4% memiliki daya tumbuh hanya 76% untuk perlakuak pada jenis benih local 1. Dan pada perlakuan local 2 daya tumbuhnya hanya sebesar 36%. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaCl maka akan semakin membuat tanaman menjadi tidak normal. Atau bisa disebut dengan Cekaman.
Pada kasus di atas bukan hanya dipengaruhi oleh dosis NaCl yang diberikan namun juga dapat dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan.pada praktikum kali ini media yang digunakan adalah media kertas merang,hal ini merupakan faktor yang bisa mempengaruhi pertumbuhan benih kedelai,ada faktor lain yaitu dari faktor jenis benih yang digunakan.
Cekaman adalah faktor lingkungan yang mampu mengimbas ketegangan (strain) dan potensial yang menimbulkan kerusakan pada tanaman atau organisme hidup pada umumnya. Faktor cekaman (stres) seperti suhu tinggi, salinitas, kekurangan air dan cahaya rendah cenderung mengakibatkan kerusakan dari sistem fotosintesis akibat radiasi termasuk PAR yang berlebihan yang tidak dapat dimanfaatkan.
Tanaman mengalami dehidrasi atau cekaman air tidak hanya karena kondisi kekeringan dan salinitas tinggi tetapi juga karena suhu rendah (frost). Tanaman menanggapi dan beradaptasi terhadap cekaman air untuk mempertahankan diri dari cekaman lingkungan tersebut. Cekaman air sering menyebabkan hambatan pertumbuhan, produksi, dan bahkan menyehabkan kematian. Agar tetap dapat hidup dalam kondisi kekurangan air, maka tanarnan harus memiliki sistem pertahanan terhadap cekaman lingkungan tersebut. Stres air menyebabkan sel tanaman kehilangan air dan menurunkan tekanan turgor. Kondisi semacam ini menyebabkan terjadinya beberapa perubahan proses fisiologis, metabolisme, dan ekspresi beberapa gen yang diduga memainkan peran penting dalam respons adaptasi tanaman terhadap cekaman air. Beberapa gen yang responsif terhadap cekaman kekeringan, kadar garam tinggi, dan suhu dingin pada level transkripsi (mRNA).
Penggunaan NaCl sebagai agen seleksi dalam penentuan mekanisme ketahanan karena dapat menyebabkan tiga macam cekaman, yaitu cekaman keracunan, cekaman nutrisi dan cekaman osmotik. Apabila konsentrasi garam belum cukup untuk menurunkan potensial air dengan nyata (< 105 M) maka disebut sebagai cekaman ion, sedangkan apabila konsentrasi garam cukup tinggi untuk menurunkan potensial air dengan nyata sampai 0,5-1,O bar (210" M) cekaman yang ditimbulkan disebut sebagai cekaman salinitas. ketahanan tanaman terhadap salintias bervariasi antar spesies dan varietas dengan tingkat yang paling rentan sampai paling tahan. Tanggapan tanaman terhadap lingkungan NaCI umumnya diakibatkan oleh adanya perubahan metabolisme. Apabila perubahan tersebut cukup berat akan menyebabkan kerusakan jaringan, bahkan kematian tanaman. Batas ketahanan disebabkan oleh terhentinya pertumbuhan, kematian jaringan, hilangnya turgor, daun gugur sampai tanaman mati.


BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan
Dari data dan pengamatan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Cekaman adalah faktor lingkungan yang mampu mengimbas ketegangan (strain) dan potensial yang menimbulkan kerusakan pada tanaman atau organisme hidup pada umumnya.
2. pengaruh dosis NaCl dapat mempengaruhi pertumbuhan benih kecambah kedelai,karena NaCl dapat mengakibatkan tanaman mengalami cekaman salin.
3. Faktor-faktor cekaman secara garis besar dibedakan atas dua yaitu cekaman biotik dan abiotik, cekaman biotik yaitu: sebagai dampak negativ dari faktor-faktor tumbuhan biologis pada organisme di lingkungan tertentu.

5.2 Saran
Saran yang bisa saya sampaikan adalah,untuk pemilihan benih kedelai harus benar-benar benih yang mempunyai daya tumbuh yang tinggi,agar pengamatan dapat dilakukan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA


Fitter, A.H & Hayne, R.K.M. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman.Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Munawir. 1993. Budidaya Tanaman Padi. Jember : SMT Pertanian Jember

Munir. 2002. Pembiakan In Vitro dari beberapa varietas tanaman di PTP
XIV, Gula Takalar, Sulawesi Selatan. Internal Report, FTP XIV Nusantara Agronomis.

Musa, Y. 2000. Evaluation of Clones and Somaclonmes of Sugarcane (Saccharurn spp.) lor Drought tolerance and Early Maturity. Dis. Program Fascasarjana Universitas Hasanuddin and the Department of Agriculture, University of Technology Papua New Guinea

Sutopo, Lita. 1985. Teknologi Benih. Malang : Rajawali press

Usman dan Warkoyo. 1993. Iklim Mikro Tanaman. Malang : Ikip

Wahyu Qamara dan setiawan Asep. 1990. Pengantar Produksi Benih. Bogor : ITB Press

pestisida nabati

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI INOVASI PERTANIAN
Acara : Pestisida Nabati
Tempat : Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan
Tanggal : 19 November 2010



Oleh
Nama : AHMAD NUR H.G.A
NIM : 091510501119
Gol/kel : D/4

JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era sekarang banyak petani dalam melakukan pengendalian hama menggunakan pestisida dari bahan kimia yang bertujuan agar hama bias secara cepat musnah,namun hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tanpa disadari oleh petani,yaitu mengakibatkan residu yang dapat membahayakan lingkungan dan juga manusia itu sendiri, Catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000 orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Dampak negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia serta ternak.
Bahan yang digunakan pun tidak sulit untuk kita jumpai bahkan tersedia bibit secara gratis. Contohnya seperti tanaman bunga kenikir yang masih dapat di temui ditanah-tanah kosong pada daerah yang cukup tinggi.. Jenis lain yang digunakan pun harus sesuai dengan karakter dari bahan yang akan digunakan serta karakter dari hama yang ada. Seperti peribahasa, tak kenal maka tak sayang, sehingga menjadi: tak kenal bahan dan jenis hama maka tak dapat mengusir dan mengendalikan hama. Bahan lainnya adalah kunyit, sereh, bawang putih, daun jatropa, daun diffen, jenis rempah-rempah dan lainnya. Dosis yang digunakan pun tidak terlalu mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintesis. Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh, dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya. Karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun, maka sebanyak apapun yang diberikan tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati. Yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering, karena terlalu sering disiram dan lembab, malah akan
ditemukan tanaman mati. Yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering, karena terlalu sering disiram dan lembab, malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh untuk tanamannya(Kardiman,2003).
Di era serba organik seperti sekarang ini, penggunaan pestisida organik cukup mendukung untuk mengatasi masalah gangguan serangan hama tanaman komersial. Pestisida organik pun dapat menjamin keamanan ekosistem. Dengan pestisida organik, hama hanya terusir dari tanaman petani tanpa membunuh. Selain itu penggunaan pestisida organik dapat mencegah lahan pertanian menjadi keras dan menghindari ketergantungan pada pestisida kimia. Penggunaan pestisida organik harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan kesabaran serta ketelitian. Banyaknya pestisida organik yang disemprotkan ke tanaman harus disesuaikan dengan hama. Waktu penyemprotan juga harus diperhatikan petani sesuai dengan siklus perkembangan hama(Sudarsono. 2006).
Mimba mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16), meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin dan bahan lainnya (Utami, 1999). Azadirachtin mengandung sekitar 17 komponen dan terdapat di semua bagian tanaman, terutama biji (Kardinan, 2000). Senyawa azadirachtin berfungsi sebagai reppelent (penolak), zat anti feedant, racun sistemik, racun kontak, zat anti fertilitas dan penghambat pertumbuhan (Nurtiati, dkk, 2001; Utami, 1999).
Dari beberapa pengujian di laboratorium diketahui bahwa ekstrak tanaman mimba bersifat toksik terhadap siput air Biomphalaria glabarata, siput ini merupakan inang cacing parasit penyebab schistosomiasis (bilharzia). Ekstrak buah mimba mampu mematikan hingga 100% siput Mel ani ascabra, siput ini banyak ditemukan di Asia Timur,merupakan vektor penyakit cacing hati (Neems Foundation, 2000; Gopalsamy et al., 1990).
Daun mimba yang masih segar dicuci bersih, lalu dikeringanginkan selama satu hari. Setelah itu dihaluskan dengan blender dan ditambahkan akuades sebagai pelarut yang dinyatakan dalam% (berat/volume atau b/v, yaitu gr/mL air). Daun yang telah dihaluskan diendapkan selama satu malam, kemudian disaring dengan kertas saring dan disimpan dalam botol kering, steril dan ditutup rapat. Selanjutnya ekstrak ini diencerkan dengan akuades untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan kelompok perlakuan (Kardinan dan Iskandar, 1997).
Tanaman Annona muricata (sirsak) mengandung zat toksik bagi serangga hama. Serangga yang menjadi hama di lapangan maupun pada bahan simpan mengalami kelainan tingkah laku akibat bahan efektif yang terkandung pada daun sirsak. Disamping itu dapat juga menyebabkan pertumbuhan serangga terhambat, mengurangi produksi telur dan sebagai repellen (penolak) (Gruber dan Karganilla, 1989).
Kematian larva yang diakibatkan oleh ekstrak daun sirsak memperlihatkan indikasi tidak sempurnanya proses ekdisis terbukti dengan adanya sejumlah larva yang gagal melepaskan kutikula lamanya. Larva yang mengalami gejala ini lama-kelamaan akan mati dengan memperlihatkan gejala kematian akibat pengaruh simultan dari toksisitas ekstrak, kelaparan dan gagal melepaskan proses ganti kulit, terlihat adanya larva menjadi mengecil dan berwarna gelap (Gionar, 2004).
memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh untuk tanamannya.
Kandungan daun sirsak mengandung senyawa acetoginin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi, senyawa acetogenin memiliki keistimewan sebagai anti feedent. Dalam hal ini, serangga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut yang bisa mengakibatkan serangga hama menemui ajalnya (Hartati, Z. 2002). Acetogenin adalah senyawa polyketides dengan struktur 30–32 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 5-methyl-2-furanone. Rantai furanone dalam gugus hydrofuranone pada C23 memiliki aktifitas sitotoksik, dan derivat acetogenin yang berfungsi sitotoksik adalah asimicin, bulatacin, dan squamocin (Kardinan, A. 2000). Daun sirsak dapat digunakan untuk pengendalian hama Thrips pada tanaman cabai. Caranya adalah dengan menumbuk halus 50 sampai 100 lembar daun sirsak yang dicampur dengan 15 gram detergen dan 5 liter air. Larutan direndam selama 1 malam, kemudian disaring menggunakan kain halus. Untuk setiap 1 liter larutan hasil saringan, dicairkan dengan 10 sampai 15 liter air (Gazali, A., Ilhamiah. 1998).
Selain harus mengenal karakter dari bahan yang akan digunakan, karakter hamanya sendiri pun harus diperhatikan dengan baik. Dengan mencari informasi karakter hidup hama, mendengarkan dari pengalaman orang lain serta mengamati sendiri, kita dapat mencari kelemahan dari hama tersebut. Contohnya untuk kutu yang menempel kuat di batang atau daun dapat diatasi dengan menggunakan campuran sedikit minyak agar kutu tidak dapat menempel. Selain itu, untuk semut yang menyukai cairan manis pada tanaman, dapat disemprotkan air sari dari daun yang sifatnya pahit seperti daun pepaya, daun diffen, dan lainnya.
Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh, dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya. Karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun, maka sebanyak apapun yang diberikan tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati. Yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering, karena terlalu sering disiram dan lembab, malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh untuk tanamannya(Kardiman,2003).



1.2 Tujuan
Untuk mengetahui beberapa jenis pestisida nabati serta cara pembuatannya.


3.2 Pembahasan
Dari setiap pestisida memiliki karaktersitik dan keunggulan masing-masing yang diantaranya misalnya pestisida yang terbuat dari ekstrak daun mimba, dari datayang di dapat di atas diketahui bahwa peranan waktu fermentasi sangatlah berpengaruh terhadap hasil yang didapap, pada ekstrak daun mimba membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari waktu fermentasinya agar bias dijadikan pestisida yang bias mengendalikan hama. Maka dari itu peranan pestisida nabati merupakan suatu inovasi yang didapat agar tidak mengalami pencemaran lingkungan karena bias menggantikan penggunaan pestisida kimia,pestisida kimia sendiri selain berdampak pada lingkungan juga berdampak :
1. Hama menjadi kebal (resisten)
2. Peledakan hama baru (resurjensi)
3. Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen
4. Terbunuhnya musuh alami
5. Kecelakaan bagi pengguna
Untuk pestisida nabati sendiri mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh pestisida kimia dibawah ini adalah beberapa kelebihan yang dimiliki oleh pestisida nabati:
1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari
2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan serangga walaupun jarang menyebabkan kematian
3. Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relative lebih aman pada manusia dan lingkungan
4. Memiliki spectrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf) dan bersifat selektif
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal pada pestisida kimia
6. Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani
Selain mempunyai kelebihan pastilah ada kelemahan yang dimiliki oleh pestisida nabati dimana kelemahan-kelemahan ini menjadi pertimbangan untuk pengaplikasian penggunaan pestisida nambati.dibawah ini adalah beberapa kelemahan yang dimiliki oleh pestisida nabati :
1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering
2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan bagi serangga)
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan bahan baku
4. Kurang praktis
5. Tidak tahan disimpan.
Pada praktikum kali ini membuat pestisida nabati dengan tiga jenis yang berbeda yaitu ekstrak daun nimba,ekstrak daun sirsak, dan belengse. MIMBA (Azadirachta indica) mengandung senyawa aktif azadirachtin, meliantriol, dan salanin. Berbentuk tepung dari daun atau cairan minyak dari biji/buah. Efektif mencegah makan (antifeedant) bagi serangga dan mencegah serangga mendekati tanaman (repellent) dan bersifat sistemik. Mimba dapat membuat serangga mandul, karena dapat mengganggu produksi hormone dan pertumbuhan serangga.
Mimba mempunyai spectrum yang luas, efektif untuk mengendalikan serangga bertubuh lunak (200 spesies) antara lainL belalang, thrips, ulat, kupu-kupu putih, dll. Disamping itu dapat juga untuk mengendalikan jamur (fungisida) pada tahap preventif, menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Jamur yang dikendalikan antara lain penyebab: embun tepung, penyakit busuk, cacar daun/kudis, karat daun dan bercak daun. Dan mencegah bakteri pada embun tepung (powdery mildew). Ekstrak mimba sebaiknya disemprotkan pada tahap awal dari perkembangan serangga, disemprotkan pada dun, disiramkan pada akar agar bisa diserap tanaman dan untuk mengendalikan serangga di dalam tanah.
Bawang putih secara alami akan menolak banyak serangga. Tanamlah di sekitar pohon buah dan lahan sayuran untuk membantu mengurangi masalah-masalah serangga. Bawang putih, begitu juga dengan bawang bombai dan cabai, digiling, tambahkan air sedikit, dan kemudian diamkan sekitar 1 jam. Lalu berikan 1 sendok makan deterjen, aduk sampai rata, dan kemudian ditutup. Simpan di tempat yang dingin selama 7 - 10 hari. Bila ingin menggunakannya, campur ekstrak tersebut dengan air. Campuran ini berguna untuk membasmi berbagai hama tanaman, khususnya hortikultura.
Pestisida nabati dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot (sprayer) gendong seperti pestisida kimia pada umumnya. Namun, apabila tidak dijumpai alat semprot, aplikasi pestisida nabati dapat dilakukan dengan bantuan kuas penyapu (pengecat) dinding atau merang yang diikat. Caranya, alat tersebut dicelupkan kedalam ember yang berisi larutan pestisida nabati, kemudian dikibas-kibaskan pada tanaman.
Untuk bahan aktif yang terkandung dari setiap bahan yang dipakai adalah seperti bahan aktif yang terkandung pada daun mimba adalah azadirachtin (C35H44O16), meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin dan bahan lainnya. ). Senyawa azadirachtin berfungsi sebagai reppelent (penolak), zat anti feedant, racun sistemik, racun kontak, zat anti fertilitas dan penghambat pertumbuhan.
Sedangkan bahan aktif yang terkandung pada Tanaman Annona muricata (sirsak) yaitu mengandung zat toksik bagi serangga hama. Serangga yang menjadi hama di lapangan maupun pada bahan simpan mengalami kelainan tingkah laku akibat bahan efektif yang terkandung pada daun sirsak. Disamping itu dapat juga menyebabkan pertumbuhan serangga terhambat.

BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan yang didapat diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Pestisida nabati mempunyai kelebihan yang tidak dimilki oleh pestisida kimia yaitu diantaranya adalah tingkat degradasinya kecil,tidak menyebabkan pencemaran lingkungan,cara mendapatkannya mudah dan lain sebagainya.
2. Pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangan hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal.
3. Mimba, merupakan salah satu tumbuhan sumber bahan pestisida pestisida nabati yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama, pestisida nabati ekstrak mimba dilakukan pengamatan selama 15 hari.

4.2 Saran
Saran yang bias saya sampaikan terhadap praktium kali ini adalah ,dalam melakukan praktikum,atau pembuatan ekstrak pestisida nabati,sebaiknya dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh,karena akan mempengaruhi hasil yang diperoleh .



DAFTAR PUSTAKA

Gruber, L.C. dan George S. Karganilla, 1989. Neem Production and use. Philippine-German Biological Plant Protection Project Bureau of Plant Industry Department of Agriculture 692 San Andress Street Malate. Philippiness.

Hartati, Z. 2002. Pengujian Ekstrak Biji Daun Sirsak Untuk Mengendalikan Hama Helicoverpa armigera Pada Tanaman Tembakau Deli. Skripsi. Fakultas Pertanian, UMA. Medan .

Kardiman A dan Dhalimi A. “MIMBA (Azadirachta indica A.Juss) TANAMAN MULTI MANFAAT”. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XI, No. 21, 2003

Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh berbagai jenis ekstrak tanaman sebagai moluskisida nabati terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2).

Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Neems Foundation. 2000. Azadirachta indica (The tree and effects on other Organism). http//www. Neems Foundation. Org.

Nurtiati, Hamidah, dan T. Widya. 2001. Pemanfaatan bioinsektisida ekstrak daun Azadirachta indica A. Juss. sebagai pengendali hayati ulat daun kubis Plutella xyclostella. J. MIPA. 6 (1)

Sudarsono. 2006. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi Pengembangannya.Perspektif Vol. 8 No. 2 / Desember 2009. Hlm 115 – 176.

Sabtu, 13 November 2010

teknik pasacapanen pada buah dengan cara crisping

BAB 1 . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sayuran berdaun merupakan hal yang dibutuhkan oleh manusia, karena banyak mengandung vitamin dan berserat tinggi. Namun karena yang dibutuhkan dalam bentuk daun yang segar itu tidak mudah karena sayuran daun sepat mengalami kelayuan akibat adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata.
Tingginya kandungan air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu dalam keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air di udara rendah maka akan terjadi defisit tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan air dari dalam produk ke udara sekitarnya (Wills et al., 1998). Bila sebaliknya, tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tingg,i maka akan terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk (Hardenberg et al., 1986). Sangat memungkinkan untuk mendifusikan air ke dalam produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami, dimana proses penyegaran ini dikenal dengan crisping (PMA, 1988).
Salah satu penyebab terjadinya pelayuan adalah karena adanya proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda dan lentisel yang tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%) dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk memungkinkan laju penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan dapat terjadi dengan cepat (Van Den Berg dan Lenz, 1973). Selain faktor internal produk, faktor eksternal seperti suhu, kelembaban serta kecepatan aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme membuka dan menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti stomata dipengaruhi oleh suhu dari produk. Pada kondisi dimana suhu produk relatif tinggi maka bukaan-buakaan alami cenderung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhunya relatif rendah maka buakaan alami mengalami penutupan (Kays, 1991).
1.2 Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman kegunaan proses crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun di banding dengan tanpa proses tersebut
2. Mampu melaksanakan prosedur crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun.
3. Mampu melakukan analisis terjadinya proses crisping
4. Mampu membuat laporan tertulis secara kritis.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Produk pascapanen hortikultura berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuan yang cepat (Ness dan Powles, 1996; Salunkhe et al., 1974).
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).
Menurut Story & Simons (1989), secara umum suhu 450C adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu tersebut produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan.
Dengan karateristik morfologinya, bawang prei dan sawi cina yang telah meningkat suhunya sulit untuk didinginkan dengan cepat sehingga proses respirasi dan transpirasi masih berlangsung tinggi yang berakibat pada penurunan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang hanya dicelup pada suhu 300C. Suhu yang tinggi pada bagian tengah produk, sebagai akibat tidak dilakukan pendinginan yang cepat sebelum dilakukan penyimpanan dalam ruang berpendingin atau pre-cooling, menyebabkan laju respirasi dan transpirasi yang tinggi (Shewfelt, 1990).
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan oven (Cantwell, 2001). Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut:
Wa - Wb
KA (%) = —————— x 100%
Wa
Keterangan : KA = Kadar Air (% bb)
Wa = Berat sebelum oven
Wb = Berat akhir setelah oven
Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertama
sebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan (100C±20C).



BAB III. METODOLOGI


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum di laksanakan pada hari rabu tanggal 13 Oktober 2010 pukul 16.00 sampai selesai, pelaksanaan praktikum dilaksanakan di Laboratorium Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian,Universitas Jember.

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Jenis sayuran daun
2. Air dengan suhu 300C,400 C,500C
3. Tali rafia

3.2.2 Alat
1. Baskom
2. Thermometer
3. Timer
4. Ruang pendingin
5. pisau

3.3 Langkah Kerja
1. Menentukan dua jenis sayuran
2. Memotong atau memangkas bagian daun bahan yang rusak,layu fisiologis,dan busuk.
3. Menentukan jumlah sampel untuk seitap unit,percoabaan dan setiap unit dan menentukan setiap unit percobaan dengan tali rafia (bukan karet).
4. Menyiapkan air hangat dengan menggunakan waterbart dan suhu air diatur terpisah berturut-turut dengan suhu 300C,400 C,500C
5. Mencelupkan sayuran bahan percobaan dengan waktu berbeda yaitu 1,3,5 meit
6. Menyiapkan kontrol yaitu sayuran yang tanpa mencelup kedalam air hangat di atas.
7. Menempatkan sayuran yang telah di celupkan di atas secepatnya ke dalam kulkas pada bagian chiller dengan perkiraan suhu ± 50 C
8. Menyimpan sayuran bahan percobaan tersebut di dalam kulkas selama 24 jam
9. Setelah penyimpanan dalam kulkas di atas,selanjutnya mengamati mutu secara subjektif meliputi, warna,tekstur dan kenampakan visual secara keseluruhan dengan menggunakan kriteria dan skala numerik, pada tabel pada fariabel pengamantan. Melakukan pengamatan secara objektif terhadap bobot sayuran setelah dan sebelum crisping.


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Tabel pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran
Perlakuan Warna Tekstur Kualitas
Kontrol 4 3 3
300 C 1 menit 5 5 4
3 menit 4 4 3
5 menit 4 3 3
400 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 5
5 menit 4 3 4
500 C 1 menit 5 5 5
3 menit 5 5 4
5 menit 5 5 4











Tabel pengamatan bobot sayuran
Suhu Ba gram Bb gram
Kontrol 23,5
300 C 1 menit
2 menit
3 menit 47
14
27,1 50,2
15,7
31,7
40 0 C 1 menit
2 menit
3 menit 19,3
30,72
20,32 21,2
43
26,4
500 C 1 menit
2 menit
3 menit 20,07
18,4
40,09 23
21,7
49,3

Grafik pengamatan perubahan warna,tekstur,dan kualitas sayuran


Grafik pengamatan bobot sayuran















Grafik PB






4.2 Pembahasan
Dari grafik di atas dapat di ambil suatu gagasan bahwa pengaruh crisping sangatlah berpengaruh besar terhadap tingkat kelayuan produk hortikultura (sayuran). Hal ini tampak pada grafik di atas bahwa pengaruh suhu dan waktu perendaman dapat mempengaruhi besar kecilnya tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran. Dalam grafik di atas perlakuan yang terendah adalah perlakuan control, hal ini cukup wajar karena perlakuan control adalah perlakuan yang tanpa adanya penambahan suhu dan lama perendaman sehingga kondisinya adalah biasa disebut dengan kondisi stabil (biasa). Dari grafik di atas di dapat suatu data yang mennyatakan bahwa perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan menggunakan perlakuan 400C dengan lama perendaman selama satu menit dan dua menit. Dibanding dengan perlakuan 500C yang mendapatkan hasil yang sama.
Dari ketentuan di atas dapat di simpulkan suatu gagasan bahwa perlakuan yang benar dan efisien adalah perlakuan yang menggunakan perlakuan 400C. perlakuan ini adalah perlakuan yang sangat baik untuk kelanjutan proses crisping. Disamping itu perlakuan ini merupakan perlakuan yang sudah optimum, karena semakin tinggi perlakuan yang diberikan, maka akan mengakibatkan penurunan tingkat kelayuan dan bahkan dapat mempercepat tingkat kelayuan.
Pada proses crisping suatu hal yang berbeda yang dapat diketahui yang sangat terlihat adalah terjadinya perubahan fisik (perubahan yang nampak),yaitu tingkat kelayuan yang terjadi pada sayuran yang dilakukan proses crisping kemudian juga adanya perubahan warna sayuran yang tejadi,hal ini terlihat perbedaan yang terjadi pada data di atas bahwa pada beberapa perlakuan ada perbedaan antar perlakuan kontrol,300C,400C,dan 500C. Pada perlakuan warna daun yang tampak telihat adalah
Pada proses di atas terjadi adanya fenomena yang terjadi pada saat proses crisping,proses yang terjadi adalah terjadinya tekanan uap air di luar lingkungan produk lebih tinggi,maka terjadi pergerakan air dari luar ke dalam produk. Sehingga banyak kemungkinan apabila suhu pada di luar produk di tingkatkan maka akan mendifusi air ke dalam produk semaksimal mungkin yang bertujuan untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami. Denga demikian kita bisa menekan adanya proses pelayuan yang terjadi pada komoditi pertanian khususnya sayur-sayuran.
Pada praktikum kali ini di lakukan perlakuan yang di lakukan diantaranya adalah dengan perlakuan kontrol yaitu tanpa adanya perlakuan suhu waktu perendaman , kemudia ada perlakuan dilakukan perendaman dengan suhu dan waktu yang berbeda-beda yaitu dengan perlakuan 300C,400C,dan 500C dengan waktu yang berbeda yaitu 1, 3, dan 5 menit. Disini terjadi suatu perbedaan yany terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan menggunakan suhu yang berbeda-beda dan juga waktu yang berbeda pula maka terjadi perubahan. Untuk suhu sendiri pada suhu 300C dan pada waktu satu menit mendapatkan hasil yang cukup memuaskan yang terjadi adalah dengan hasil yang cukup tinggi dan masih dalam kategori sayuran yang segar, warna masih tampak hijau,hal ini terlihat sangat berbeda dari perlakuan kontrol,yang hanya mendapat poin dengan kategori warna hijau namun tekstur mengalami kemunduran dan pada tingkat kelayuan mengalami kelayuan yang dikategorikan agak layu,dan kualitasnya yaitu biasa saja tidak di kategorikan sebasgai kategori terbaik.
Namun pada perlakuan suhu 400C,dan 500C dengan waktu yang sama yaitu 1 menit mendapatkan hasil yang sama bagusnya. Hal ini mungkin di akibatkan oleh daya tahan tubuh sayuran antara perlakuan satu dengan yang lainnya mengalami perbedaan,sehingga hasil yang didapat bisa sama. Dari hal tersebut dapat diambil suatu gagasan yang mana pada perlakuan 400C merupakan perlakuan yang cukup efektif dari pada perlakuan lainnya, karena hal ini merupakan hal yang optimum dari semua perlakuan, itu terlihat dari hasil yang telah diperoleh pada suhu 400 C dengan waktu 1 menit merupakan perlakuan yang optimum, sebab apabila perlakuan di tingkatkan lagi ternyata masih tetap mendapatkan hasil yang sama. Pada perlakuan suhu 500C malah mendapatkan hasil yang yang menurun dibanding perlakuan lainnya. Ada sumber lain yang melakuan percobaan yang hampir sama yaitu sebagai berikut,
Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 300C -500C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya. Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 300 C 400 C efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 500 C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu. Proses crisping dengan suhu perendaman 300C dan 400C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 300C dan 400C selama 7 menit (Supartha,2007).

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Dari data dan pembahasan di atas dapat diketahui dan di ambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Penggunaan cara crisping terbukti bahwa dapat meminimalisir adanya tingkat pelayuan akibat tras=nspirasi tinggi. Karena sayuran yang telah di crisping kandungan airnya dapat meningkat kembali.
2. Untuk melakukan proses crisping penggunaan perlakuan yang efektif adalah menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien dan juga sudah terbukti dari sumber pustaka lain juga berpendapat sama,namun perbedaannya hanya waktu perendaman saja.
3. Perubahan bobot akibat crisping dihitung berdasarkan berat awal produk setelah mengalami penyimpanan yaitu saat produk menunjukkan gejala pelayuan pertamasebelum crisping dan dibandingkan dengan produk yang telah mengalami crisping yaitu setelah 1 hari penempatannya pada suhu pemajangan.

5.2Saran
Untuk melakuakan proses crisping lebih baik menggunakan perlakuan dengan suhu 300C dan 400C karena terbukti lebih efektif dan lebih efisien hal interbukti nyatai sudah



DAFTAR PUSTAKA


Cantwell, M. & A. Thangaiah. 2001. Delays to cool affect visual quality, firmness and gloss of bell peppers and eggplants. Perishables Handling Quarterly, August 2001, Issue No. 107.

Hardenberg, R. E., A. E. Watada, & C.Y. Wang. 1986. The Commercial Storage of Fruits, Vegetables, Florist and Nursery Stocks. USDA Agric. Handbook No. 66. USDA Washington.

Kader, A.A. 2002. Postharvest Technology of Horticultural Crops. 3rd Edition. University of California. Div. of Agriculture and Natural Resources, California

Kays, S. J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An AVI Book, NY

Ness, A. R. and Powles, J. W. 1996. Does eating fruit and vegetables protect against heart attack and stroke? Chem. Industry (Oct): 792- 794.

PMA-Produce Marketing Association. 1988. Retail Produce Training Program. Silverweig Association, Inc & Produce Marketing Association, Inc. New York.

Story, A. & D. Simons. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable Association Ltd., Fitzroy, Vic.

Supartha ,2007.Pengaruh Suhu Air dan Lama Waktu Perendaman Beberapa Jenis Sayuran Daun pada Proses Crisping. Denpasar

Van Den Berg, L. & C.P. Lenz. 1973. High humidity storage of carrots, parsnips, rutabagas and cabbage. J. Am. Soc. Hort. Sci. 98: 129-132.

Wills, R.B.H., B. McGlasson, D. Graham, & D. Joyce. 1998. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th Ed, University of New South
TIPE STRUKTUR TANAH PLATY (LEMPENG)
Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun atas mineral dan bahan organik.Tanah sangat berperan dalam kehidupan makhluk hidup di bumi karena tanah membantu pertumbuhan tumbuhan dengan menyediakan hara,air dan unsur-unsur yang di perlukan tumbuhan untuk tumbuh sekaligus sebagai penopang akar Tanah juga menjadi habitat hidup bagi makhluk mikroorganisme.Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi tempat untuk hidup dan bergerak.Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi.Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.
Struktur tanah merupakan susunan ikat an partikel tanah satu sama lain. Ikatan tanah berbentuk sebagai agregat tanah. Apabila syarat agregat tanah terpenuhi maka dengan sendirinya tanpa sebab dari luar disebut ped, sedangkan ikatan yang merupakan gumpalan tanah yang sudah terbentuk akibat penggarapan tanah disebut clod. Untuk mendapatkan struktur tanah yang baik dan valid harus dengan melakukan kegiatan dilapangan, sedang laboratorium elatif sukar terutama dalam mempertahankan keasliannya dari bentuk agregatnya. Pengamatan dilapangan pada umumnya didasarkan atas type struktur, klas struktur dan derajat struktur. Ada macam-macam tipe tanah dan pembagian menjadi bermacam-macam klas pula. Di sini akan dibagi menjadi 7 type tanah yaitu : type lempeng ( platy ), type tiang, type gumpal ( blocky ), type remah ( crumb ), type granulair, type butir tunggal dan type pejal ( masif ). Dengan pembagian klas yaitu dengan fase sangat halus, halus, sedang, kasar dan sangat kasar. Untuk semua type tanah dengan ukuran klas berbeda-beda untuk masing-masing type. Berdasarkan tegas dan tidaknya agregat tanah dibedakan atas : tanah tidak beragregat dengan struktur pejal atau berbutir tunggal, tanah lemah ( weak ) yaitu tanah yang jika tersinggung mudah pecah menjadi pecahan-pecahan yang masih dapat terbagi lagi menjadi sangat lemah dan agak lemah tanah sedang/cukup yaitu tanah berbentuk agregat yang jelas yang masih dapat dipecahkan, tanah kuat ( strong ) yaitu tanah yang telah membentuk agregat yang tahan lama dan jika dipecah terasa ada tahanan serta dibedakan lagi atas sangat kuat dan cukupan (Baver, 1961 ).
Untuk tanah bertipe struktur lempeng sendiri merupakan salah satu dari tujuh tipe tanah yang dapat di ketahui.struktur lempeng adalahbentuk gumpalan tanah yang menyerupai lempengan-lempengan pipih atau keping yang dapat mempengaruhi porositas tanah, struktur ini ditemukan di horison A2 atau pada lapisan padas liat, Pada struktur platy, unit-unitnya datar dan seperti pelat. Struktur ini secara umum diorentasikan secara horizontal. Bentuk special, struktur platy lentikular, dikenal sebagai pelat yang tengahnya paling tebal dan tipis pada tepinya. Struktur platy biasanya ditemukan pada sub permukaan tanah yang subjeknya luluh atau memadat karena hewan atau mesin. Pelat ini dapat dipisahkan dengan sedikit gaya dengan mengumpil lapisan horizontal denan pisau silet. Struktur platy cenderung menghalangi gerakan air untuk turun ke bawah dan akar tanaman menembus tanah. struktur tanah ini berbentuk seperti buku,sehingga porositas tanah sangat kecil,karena air tidak dapat lolos dengan baik,disebabkan oleh buku-buku tanah,hal ini juga dipengaruhi oleh ketebalan yang ada pada tanah berbentuk lempeng,ketebalan struktur lempeng dapat dibedakan menurut ketebalannya diantaranya adalah :
1. Sangat tipis,jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 1 mm
2. Tipis, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 1-2 mm
3. Sedang, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 2-5 mm
4. Kasar, jika ketebalannya lempengnya berkisar antara 5-10 mm
5. Sangat kasar, jika ketebalannya lempengnya berkisar lebih dari 10 mm
Dari beberapa perbedaan ketebalan tanah di atas mempunyai peranan dan pengaruh terhadap porositas tanah yang kaitannya juga dapat mempengaruhi kesuburan dan kesuburan tanah sendiri akan mempengaruhi produktifitas tanaman yang akan di tanam.semakin tebal tanah yang bertipe platy ini maka akan semakin besar juga kemampuan tanah untuk menahan air yang akan turun ke bawah,sehingga dengan tipe tanah platy yang tebal maka porositas tanah akan sangat kecil,dan begitu juga sebaliknya. Dibawah ini adalah beberapa gambar tipe struktur tanah yang dapat diketahui.


Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa struktur tanah platy sangart berpengaruh terhadap kesuburan tanah,karena ada kaitannya juga dengan produktifitas tanah yang berpengaruh langsung terhadap produksi tanah,jadi apabila tipe struktur tanah lempeng ini kurang baik bagi lahan pertanian,karena tanahnya sulit untuk meloloskan air atau juga dapat dikatakan bahwa tingkat porositasnya sangat kecil,sehingga akar tanaman akan terhambat dan sulit untuk mencari unsure hara yang ada di dalam tanah.

Rabu, 11 Agustus 2010

mkroba yang merugikan dari Jamur,Bakteri,Maupun virus

VIRUS PADA TANAMAN TOMAT
(TOBACCO MOSAIC VIRUS)

Tobacco Mosaic Virus (TMV) adalah virus yang menyebabkan penyakit pada tembakau dan tumbuhan anggota suku terung-terungan (Solanaceae) lain. Gejala yang ditimbulkan adalah bercak-bercak kuning pada daun yang menyebar seperti mosaik. Virus ini tidak hanya menyerang tanaman tembakau melainkan juga menyerang tanaman lain sepertihalnya tanaman tomat. Tomat, adalah salah satu tanaman yang rentan terkena penyakit yang diakibatkan oleh serangan virus. Karenanya virus termasuk salah satu penyakit penting atau utama yang menyerang taaman tomat. Hampir semua tomat yang ada saat ini belum ada yang memiliki daya tahan kuat bila sudah terserang. Selama ini, penyakit virus yang dominan dan seringkali menyerang tanaman tomat adalah.
Namun, ternyata tidak hanya TMV saja yang menyerang melainkan ada lebih dari 18 jenis virus yang kini menyerang tanaman tomat. Bahkan mungkin jumlah itu bisa bertambah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan penyakit virus dapat menyebabkan kehilangan produksi . Kehadiran TMV yang berat dapat menekan produktifitas hingga 0,2 sampai 50% tergantung varietas (Duriat,1979).

Mekanisme Virus Menyerang Tomat
Virus akan menjadi benda mati bila berada di luar jaringan hidup , namun virus bisa begitu stabil berada di luar inangnya sehingga dengan mudah dapat bertahan disana. Kalau virus mulai mencapai permukaan jaringan tumbuhan atau yang disebut dengan kontaminasi, maka partikel virus kemudian masuk ke dalam tumbuhan melalui luka. Sekali virus masuk ke dalam jaringan inangnya, maka akan mengakibatkan perubahan fungsi. Perubahan fungsi tersebut tidak lain disebabkan oleh terhambatnya sintesa protein dan RNA tanaman inang untuk menjadi nukleaotides, asam amino dan ribosom bebas yang dialihkan untuk menjadi.
Gejala yang timbul akibat terserang virus
Cukup banyak ciri /gejala yang menunjukkan suatu tanaman terserang virus. Gejala serangan virus itu sendiri sangat tergantung pada jenis virus yang menyerang, kultivar tanaman inang, dan keadaan lingkungan. Secara umum gejala tanaman tomat yang terserang virus diantaranya adalah
1. Mosaik
Mosaik ini ditandai dengan warna belang pencampuran lebih dari satu warna. Mosaik pada daun biasanya berupa daun hijau yang tidak merata karena dibeberapa bagian tercampur warna pucat atau kekuning-kuningan yang menyebar seperti percikan. Sedangkan Lucas (1996) dalam kamus istilah patologi tanaman mengungkapkan bahwa Mosaik adalah gejala daun yang memperlihatkan banyak daerah kecil berubah warna, yang kontras dengan warna asalnya dan cenderung berupa lingkaran terang seperti cincin. Pola bagian hijau yang bersiku kontras dengan warna kuning; daerah yang dikelilingi cincin klorotik yang memberikan mosaik kuning di atas warna hijau. Bila daerah warna yang berbeda menyatu, akan menghasilkan gejala belang. TMV dan CMV merupakan contoh penyakit yang memiliki gejala seperti ini.

Nekrosis
Nekrosis yaitu kematian jaringan yang bisa terjadi pada urat daun, pada batang berupa garis-garis coklat, berupa bercak pada daun dan buah serta kematian pada titik tumbuh.
2. Kerdil
Kerdil pada tomat ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat, ukuran lebih kecil baik pada morfologi tanaman, daun, cabang ataupun buah.

4. Malformasi
Yaitu terjadi perubahan bentuk menjaditidak smepurna atau tidak normal. Sering terjadi pada daun atau buah.
5. Klorosis
Warna pucat, baik pucat yang menyeluruh ataupun hanya berupa bercak saja Vein clearing yaitu warna pucat pada urat daun sehingga urat daun kelihatan transparan, mengkilat diantara warna daun yang hijau.  
6. Rugose
Permukaan daun tidak rata disebabkan karena pertumbuha urat daun tidak sebanding dengan pertumbuhan helaian daun, sehingga daun akan terlihat tidak rata dengan permukaan yang benjol-benjol. 
PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA TANAMAN PADI
Penyakit hawar daun bakteri merupakan penyakit yang tersebar luas di pertanaman padi sawah dan bisa menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit ini pada umumnya terjadi pada musim hujan atau lembab >75%, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang dengan pemupukan N yang tinggi. Hawar daun bakteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. yang dapat menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadium pertumbuhan.
Klasifikasi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
Menurut Ferdiaz (1992) dalam Triny S. Kadir, Satoto dan Inastuti A. Rumanti (2006), klasifikasi Xanthomonas adalah sebagai berikut:
Phylum : Prokaryota
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudomonadales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Xanthomonas
Spesies : Xanthomonas campestris pv. Oryzae
Morfologi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
Bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. berbentuk batang pendek berukuran (1-2) x (0,8-1) m , di ujungnya mempunyai satu flagela polar yang berukuran 6-8 m dan berfungsi sebagai alat bergerak. Bakteri ini bersifat aerob, gram negatif dan tidak membentuk spora. Di atas media PDA bakteri ini membentuk koloni bulat cembung yang berwarna kuning keputihan sampai kuning kecoklatan dan mempunyai permukaan yang licin (Machmud, 1991; Semangun, 2001; Triny dkk., 2006).
Gejala Serangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Penyakit hawar bakteri pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan. Gejala penyakit ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1). Gejala layu (kresek) pada tanaman muda atau tanaman dewasa yang peka, (2). Gejala hawar dan (3). Gejala daun kuning pucat (Singh, 1980; Machmud, 1991; Triny dkk., 2006).

Gejala layu yang kemudian dikenal dengan nama kresek umumnya terdapat pada tanaman muda berumur 1-2 minggu setelah tanam atau tanaman dewasa yang rentan. Pada awalnya gejala terdapat pada tepi daun atau bagian daun yang luka berupa garis bercak kebasahan, bercak tersebut meluas berwarna hijau keabu-abuan, selanjutnya seluruh daun menjadi keriput dan akhirnya layu seperti tersiram air panas. Seringkali bila air irigasi tinggi, tanaman yang layu terkulai ke permukaan air dan menjadi busuk (Anonim, 1989).
Menurut Machmud (1991), pada tanaman yang peka terhadap penyakit ini, gejala terus berkembang hingga seluruh permukaan daun, bahkan kadang-kadang pelepah padi sampai mengering. Pada pagi hari atau cuaca lembab, eksudat bakteri sering keluar ke permukaan bercak berupa cairan berwarna kuning menempel pada permukaan daun dan mudah jatuh oleh hembusan angin, gesekan daun atau percikan air hujan. Eksudat ini merupakan sumber penularan yang efektif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kultivar padi mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap Xanthomonas. Ketahanan disebabkan karena: 1. Bakteri terhambat penetrasinya, 2. Bakteri tidak dapat meluas secara sistemik, dan 3. Tanaman bereaksi langsung terhadap bakteri (Lozano dan Sequeira, 1974 dalam Semangun, 2001). Menurut Maraite dan Weyns (1979) dalam Semangun (2001), penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Xanthomonas dibantu juga oleh hujan, karena hujan akan meningkatkan kelembaban dan membantu pemencaran bakteri. Intensitas penyakit yang tertinggi terjadi pada akhir musim hujan, menjelang musim kemarau. Suhu optimum untuk perkembangan Xanthomonas adalah sekitar 300C.
Kerugian Akibat Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kerugian hasil padi di Jepang yang diakibatkan oleh penyakit hawar daun bakteri setiap tahunnya mencapai 30% bahkan lebih. Di India penyakit ini juga merupakan kendala utama produksi padi, berjuta-juta hektar sawah tiap tahun terserang penyakit tersebut dengan kerugian bervariasi antara 20-60% (Singh, 1980).
Di daerah tropis seperti Indonesia dan Filipina, penyakit ini juga sangat merugikan meskipun besar kerugian kurang diketahui secara pasti. Di Indonesia kerugian akibat penyakit ini diperkirakan berkisar antara 15-25% tiap tahun. Kerusakan berat terjadi bila penyakit ini menyerang tanaman muda yang peka, sehingga menimbulkan gejala kresek dan kemudian tanaman mati (Machmud, 1991).
Pengendalian Penyakit Hawar Daun Bakteri
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri akan lebih berhasil bila dilaksanakan secara terpadu, mengingat berbagai faktor dapat mempengaruhi penyakit ini di lapangan, misalnya keadaan tanah, pengairan, pemupukan, kelembaban, suhu dan ketahanan varietas padi yang ditanam. Usaha terpadu yang dapat dilaksanakan mencakup penanaman varietas yang tahan, pembuatan persemaian kering atau tidak terendam air, jarak tanam tidak terlalu rapat, tidak memotong akar dan daun bibit yang akan ditanam, air tidak terlalu tinggi pada waktu tanaman baru ditanam dan menghindari pemberian pupuk N yang terlalu tinggi.
Upaya pengendalian untuk mengatasi penyakit ini yaitu dengan melakukan beberapa hal :
1. Perbaikan cara bercocok tanam, melalui:
 Pengolahan tanah secara optimal
 Pengaturan pola tanam dan waktu tanam serempak dalam satu hamparan
 Pergiliran tanam dan varietas tahan
 Penanaman varietas unggul dari benih yang sehat
 Pengaturan jarak tanam
 Pemupukan berimbang (N,P, K dan unsur mikro) sesuai dengan fase pertumbuhan dan musim
 Pengaturan sistem pengairan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.
2. Sanitasi lingkungan
3. Pemanfaatan agensia hayati Corynebacterium
4. Penyemprotan bakterisida anjuran yang efektif dan diizinkan secara bijaksana berdasarkan hasil pengamatan.


Jamur Upas (Pink disease) YANG MENYERANG TANAMAN PERKEBUNAN
Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik yang membentuk dunia jamur atau regnum fungi. Jamur pada umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri jamur berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya.
Penyebab : Corticium salmonicolor Berk. & Br.
Gejala Timbul gejala batang atau ranting yang dilapisi benang-benang mengkilap seperti sarang laba-laba (stadium membenang) berwarna merah muda. Perkembangan selanjutnya jamur masuk dalam kulit menyebabkan kulit membusuk. Terdapat bintil-bintil spora jamur (stadium membintil). Pada tahap ini biasanya menyebabkan daun-daun menjadi gugur, ranting dan cabang terserang dapat mengalami kematian. Pada stadium lebih parah menyebabkan permukaan kulit terserang yang berwarna merah jambu (stadium kortisium) berubah menjadi abu-abu. Lapisan miselium membentuk bercak-bercak tak beraturan seperti kerak (stadium nekator).
Bioekologi Kelembaban dan cahaya yang kurang pada percabangan tanaman mendorong perkembangan penyakit. Patogen masuk dengan penetrasi langsung. Penyebaran terjadi karena kelembaban yang tinggi pada ranting, adanya percikan air, pengairan atau hujan.
Pengendalian Upayakan agar cahaya dapat masuk secara sempurna ke seluruh bagian tanaman. Apabila kanopi tanaman telah bertautan sebaiknya dipangkas. Bagian tanaman yang sakit segera dibuang dengan cara dipotong pada batas 5 cm dari bagian sakit, kemudian luka ditutup dengan bahan penutup luka (parafin). Potongan tanaman yang sakit segera dibakar. Bagian sakit yang belum parah stadiumnya dapat diobati dengan pengerokan, kemudian dilabur dengan fungisida dengan bahan aktif Copper atau bubur California.


PENYAKIT JAMUR UPAS (Corticium salmonicolor) PADA TANAMAN KARET
Penyakit jamur upas merupakan penyakit penting pada tanaman karet, karena dapat menyebabkan kerusakan pada batang/ranting tanaman sehingga mempengaruhi produksi lateks. Jamur upas dapat menyerang tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan (TM). Penyakit ini lebih berbahaya bila menyerang TBM dan TM dibandingkan dengan tanaman tua. Pada TBM, jamur dapat mematikan batang atau cabang yang menyebabkan tajuk tanaman kurang berkembang, sehingga tanaman lambat disadap. Serangan jamur pada tanaman tua terjadi pada ranting, jarang terjadi pada batang atau cabang, karena pada bagian kulit batang atau cabang telah terbentuk lapisan gabus. Penyakit tersebut banyak menyerang tanaman pada kebun yang lembab dan kurang sinar matahari. Klon-klon yang tajuknya rindang relatif rentan terhadap jamur upas.
Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit jamur upas adalah Corticium salmonicolor. Nama lain dari jamur tersebut adalah Upasia salmonicolor, Pellicularia salmonicolor, Phanerochaete salmonicolor dan Botryobasidium salmonicolor.

Gejala Serangan
Jamur upas timbul pada batang atau cabang yang kulitnya sudah berwarna coklat, tetapi belum membentuk lapisan gabus yang tebal. Umumnya jamur mulai berkembang dari pangkal batang atau sisi bawah cabang. Karena disini keadaannya lebih lembab dari pada di bagian lain. Gejala awal ditandai dengan adanya benang-benang halus yang mirip sarang laba-laba pada bagian tanaman yang terserang. Kemudian patogen membentuk kumpulan hifa yang dilanjutkan dengan pembentukan kerak berwarna merah jambu. Pada tahap ini kulit dan kayu yang ada dibawahnya telah membusuk. Untuk mengimbangi kerusakan tersebut, biasanya pada jaringan yang masih sehat tumbuh tunas-tunas baru dan jaringan kulit yang terinfeksi mengeluarkan lateks. Lateks meleleh pada cabang atau batang yang kemudian mengering tampak seperti garis-garis hitam. Menurut perkembangannya gejala tersebut dapat dibagi 4 (empat) stadium:
a. Stadium Rumah Laba-Laba
Pada tingkat ini, jamur membentuk lapisan tipis miselia yang mengkilat seperti sutera. Pada stadia ini jamur belum menembus jaringan kulit.
b. Stadium membintil
Sebelum masuk ke jaringan kulit, jamur membentuk kumpulan hifa yang
mempunyai bintil. Hal ini sering terjadi di depan lenti sel.
c. Stadium Kortisium
Pada tingkat ini jamur membentuk kerak berwarna merah jambu. Kulit di bawah kerak merak jambu ini telah membusuk. Kerak ini merupakan lapisan basidium yang membentuk basidiospora.
d. Stadium Nekator
Kulit kayu dibawah kerak kortisium menjadi busuk dan bila jamur berkembang terus, maka akan terbentuklagh piknidia yang berwarna merah tua yang biasanya terjadi pada sisi yang agak kering, misalnya pada sisi atas cabang. Pada stadium ini, didalam piknidium jamur membentuk spora yang lain yaitu konidium. Piknidia inilah yang disebut Nekator yang umumnya terdapat pada batang atau cabang yang sudah mati. Pada tingkat yang lebih lanjut daun-daun pada batang atau cabang yang sakit menjadi layu dan mengering. Kuncup-kuncup tidur di bawah bagian yang terserang berkembang menjqdi tunas dan akhirnya tanaman karet menjadi mati.
Cara Berkembang dan Penyebaran Penyakit
Penyakit ini dapat berkembang dengan cepat bila keadaan kebun lembab dan kurang sinar matahari. Cara penyebaran penyakit melalui spora jamur yang terbawa oleh angin dan percikan air. Cortisium salmonicolor merupakan jamur yang cosmopolite (inangnya banyak) meliputi kurang lebih 140 jenis tanaman antara lain karet, jeruk, durian, belimbing, nangka, crotalaria, lada, kopi, cempedak, dan lain-lain.